Pada setiap hari setelah shalat Subuh,
Maulana Ilyas rah. Memberi targhib mengenai khidmat dan nusrah usaha agama.
Beliau berkata, “Lihatlah, anda semua tahu dan percaya bahwa Allah itu ada dan
senantiasa hadir pada setiap saat, justru apakah patut seorang hamba berpaling
dari Allah dan sibuk di dalam hal-hal lain? Ini adalah kerugian yang amat besar
dan melalaikan kerja agama menyebabkan Allah murka. Sibuk dengan urusan dunia,
tidak menghiraukan perintah-Nya adalah sebenarnya menjauhi dan memutuskan
hubungan dengan Allah.
Adalah dikehendaki manusia sibuk dengan
nusrah kerja agama di samping mentaati perintah-Nya. Senantiasa utamakan
perkara yang lebih penting dengan berpandukan kehidupan Rasulullah saw yang
merupakan Uswatun Hasanah. Baginda adalah yang paling banyak menanggung
kesusahan karena menyebarkan Kalimah Allah dan menyediakan manusia beribadat
kepada Allah. Inilah kerja yang paling penting dan unggul dan sibuk dalam kerja
ini adalah penghambaan yang sebenarnya.
ULASAN KAMI:
Perbuatan beliau TIDAK mengikut (menyimpang) dengan sunnah Nabi saw.Dalilnya :
Dari Anas bin Malik Radhiallaahu anhu ia berkata: Rasulullah
Shalallaahu alaihi wasalam pernah bersabda:
"Barang siapa
yang ikut shalat fajar berjamaah di masjid, lalu duduk berdzikir mengingat
Allah Subhannahu wa Ta'ala sampai matahari terbit, kemudian mengerjakan shalat
dua rakaat, maka baginya pahala bagaikan orang yang menunaikan ibadah haji dan
umrah dengan sempurna, sempurna dan sempurna." (HR. At-Tirmidzi)
Duduk berzikir setelah
subuh hingga matahari terbit adalah sunnah. Dari Abu Umamah Ra dikatakan bahwa
Rasulullah SAW bersabda : “ Barangsiapa yang shalat
subuh berjamaah kemudian duduk berzikir kepada Allah sampai terbitnya matahari,
kemudian berdiri dan shalat 2 rakaat, maka ia akan memperoleh pahala haji dan
umrah”. Waktu ba’da subuh hingga matahari terbit
adalah waktu yang penuh barakah yang seharusnya benar-benar dipelihara oleh
setiap mukmin. Peliharalah waktu itu dengan mengisinya melalui tilawatul Qur’an
1 juz dalam satu hari, berzikir atau menghafal. Inilah yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW selesai menunaikan shalat subuh, bahwa Baginda selalu duduk ditempat
solatnya hingga matahari terbit”. ( HR. Muslim )
Malfuudzaat 22
Beliau berkata dalam suatu perhimpunan,
“Hari ini manusia telah menjadikan perhambaan kepada Allah lebih rendah dari
perhambaan mereka kepada pekerjaan dan manusia. Umumnya tujuan hidup mereka
adalah perhambaan kepada pekerjaan dan manusia, hingga makan dan minum pun
hanya apa-apa yang mereka sempat. Tetapi kepada Allah, mereka tidak buat
seperti ini. Setelah selesai pekerjaan dan perkara kesukaannya barulah ia
meluangkan waktu untuk Allah seperti shalat atau sedekah dan menganggap sudah
cukup menunaikan kehendak Allah.
Hak perhambaan kepada Allah sebenarnya
ialah apabila usaha agama dijadikan maksud hidup kita. Makan minum dan
pekerjaan adalah keperluan untuk menyempurnakan tujuan atau maksud hidup.
Sedikit masa terpaksa untuknya. Bukanlah semua manusia harus tinggalkan
pekerjaan mereka tetapi dalam semua pekerjaan mereka harus pentingkan
perhambaan diri kepada Allah, khidmat dan nusrah usaha agama. Makan dan minum
sekedar keperluan saja sebagaimana seorang hamba pentingkan kerja tuannya bukan
makan minumnya.
Suatu hari setelah shalat Maulana Ilyas
rah. Telah berdoa:
Allahummanshur man nashara diina Muhammad wa khdzul man khadzala diina
Muhammad.
(Ya Allah, bantulah mereka yang membantu
agama Muhammad saw dan janganlah bantu mereka yang tidak membantu agama
Muhammad saw).
Sewaktu doa itu Maulana juga telah menyebut
dengan kuat, “Allahumma laa taj’alnaa
minhum 3 kali” (Ya Allah janganlah jadikan kami seperti
mereka).
Kemudian Beliau berkata kepada hadirin,
“Saudara sekalian, fikirkanlah kepentingan doa ini. Doa ini tersirat ancaman
apabila dimohon oleh Para Khawas pada sepanjang zaman. Ia mengandungi rahmat
dan pertolongan bagi mereka yang membantu dan berjuang untuk agama Allah dan
sebaliknya ia adalah ancaman bagi mereka yang tidak membantu agama-Nya.”
Ya Allah tinggalkan mereka dari rahmat dan bantuan Mu
Sekarang periksalah kesan doa ini atas
setiap diri kita. Adakah kita menerima kebaikan atau keburukan. Ketahuilah
bahwa shalat dan puasa walaupun merupakan ibadah yang utama tetapi bukan usaha
yang membantu agama. Membantu agama adalah apa yang dinyatakan dalam Al Quran
dan Al Hadits dan cara yang diterima ialah cara asal Nabi Muhammad saw. Pada
zaman ini usaha untuk menghidupkan kembali kerja tersebut adalah sangat besar
sekali. Semoga Allah karuniakan taufiq-Nya kepada kita semua.”
ULASAN KAMI:
Rasul saw tidak pernah mendoakan sahabatnya atau orang mukmin dengan doa seperti yang dibaca oleh maulana Ilyas kecuali kepada orang musyrik dan munafik sahaja.Sebaliknya Maulana Ilyas doa (tak baiknya) itu dituju kepada muslim yang hanya tak buat kerja dakwah ala tabligh atau dengan lain perkataan tak jadi karkun.
Pada suatu perhimpunan beliau berkata,
“Tujuan asal usaha kita adalah untuk mengajar umat ini seluruh cara hidup
Rasulullah.
Jami’u maa Jaa a bihi anNabi
Yaitu mengajar dan mengamalkan ilmu
tersebut kepada umat ini. Inilah tujuan asal kerja kita. Mengeluarkan jamaah
dan gasyt hanyalah permulaan tujuan kita.
Menyeru kepada La ilaha illa Allah, shalat, serta taklim adalah Alif Ba Ta
usaha ini. Jamaah yang ada sekarang ini belum berdaya membuat semuanya itu.
Jamaah
kami hanya dihantar ke merata tempat untuk menyadarkan yang lalai agar
bertawajjuh kepada usaha agama serta menghubungkan mereka dengan ahli agama dan
mengeluarkan jamaah dari tempat-tempat itu. Dan mendorong golongan yang ada
fikir agama di tempat itu agar turut mengishlah orang awam. Di setiap tempat,
kerja asal akan dibuat oleh karkun-karkun tempatan dan orang awam akan mendapat
faedah yang banyak apabila ahli agama di tempat mereka sama-sama bekerja.
Caranya harus dipelajari dari orang-orang lama yang berpengalaman dan telah
banyak memberi masa untuk memahami kerja ini.”
ULASAN KAMI:
Satu penyataan yang mengandungi satu maksud yang tersembunyi.Perhatikan ayat "Menyeru kepada La ilaha illa Allah, shalat, serta taklim adalah Alif Ba Ta usaha ini. Jamaah yang ada sekarang ini belum berdaya membuat semuanya itu.
Tak ramai orang mahu memikirkan maksud sebenar ayat tersebut.Hasil tulisan para ulama India yang mengkaji tulisan-tulisan ulama deobandi aka Tabligh menyatakan bahawa ayat mengadungi maksud bahawa TUJUAN UTAMA jemaah tabligh ialah untuk membuat pembaharuan dalam masalah thariqat dan `aqidah dengan menyatukan seluruh manusia di bawah fahamnya. Pemahaman seperti ini juga didukung oleh buku mereka yang bernama Makaatib Muhammad Ilyas, yang menjelaskan bahwa menurut guru mereka Muhammad Ilyas, Jama`ah Tabligh bertujuan menyatukan syari`at, thariqat, dan haqiqat di bawah payung yang sempurna ( hal. :66 )
Dalam perhimpunan beliau berkata,
“Orang-orang lama hendaklah ungat bahwa apabila dakwahnya tidak diterima atau
ia dimaki atau difitnah maka jangan berputus asa atau merasa kecewa. Itulah
sunnah dan pusaka istimewa para Nabi, khususnya Rasulullah saw. Tidak semua
orang berpeluang dihina di jalan Allah. Sebaliknya apabila diberi sambutan dan
dimuliakan, bayannya didengar dengan penuh minat, maka hendaklah dipahami bahwa
itu adalah semata-mata karunia Allah dan janganlah meringankan hal ini. Khidmat
serta taklim kepada orang yang ada thalab (gairah) hendaklah disyukuri secara
terbaik karena ihsan Allah walaupun mereka itu dari golongan yang paling
rendah. Inilah ajaran yang terdapat dalam ayat Abasa (80) : 1-2.
Ya! Kita hendaklah senantiasa merasa takut
akan tipu daya nafsu kita. Nafsu membisikan bahwa penerimaan mereka itu karena
kehebatan kita, sehingga kita terperangkap ke dalam fitnah yang sangat besar,
berlagak guru tasawuf palsu. Maka lebih berhati-hatilah dari fitnah ini.”
Dalam setiap perhimpunan beliau berkata,
“Pahamkanlah kepada semuakarkun,
bahwa janganlah meminta musibah dan kesusahan dari Allah. Tetapi apabila
mendapat musibah di jalan Allah, maka pahamilah hal ini adalah suatu Rahmat dan Asbab
kifarah dosa-dosa
kita dan diangkatnya derajat kita. Segala musibah dan kesusahan di jalan Allah
merupakan makanan istimewa para Nabi, Shiddiqiin, dan Muqarrabiin.”
Pada suatu jamaah beliau berkata, “Semasa
memberi dakwah dan bertabligh, hati kita mestilah tawajjuh hanya kepada Allah
bukan kepada orang yang sedang kita temui. Waktu itu, hati kita hendaklah
merasa bahwa kita bukannya menjalankan kerja pribadi malah sedang keluar untuk
menjalankan perintah Allah. Hati orang yang kita temui juga berada dalam Qudrat
Allah. Dengan pikiran seperti ini, Insya Allah, tidak akan timbul perasaan
marah dan putus asa apabila terjadi salah paham.”
Beliau berkata, “Satu pemahaman yang salah
ialah kita menyangka berhasil apabila ada orang yang mengikuti dakwah kita. Dan
apabila tidak ada orang ikut maka kita menganggap usaha kita gagal. Pendapat
ini salah sama sekali. Orang ikut atau tidak, itu adalah amalan mereka sendiri.
Bagaimana kita boleh merasa berhasil atau gagal atau amalan orang lain?
Keberhasilan kita ialah apabila kita dapat buat kerja dakwah ini dengan
sempurna.
Apabila orang lain tidak mau mengikuti
kita, maka itu adalah kerugian bagi dirinya sendiri. Mengapa kita merasa gagal
sebab mereka tidak ikut? Manusia lupa bahwa memaksa orang lain bukanlah kerja
dan tanggung jawab kita (ia adalah hak Allah). Tugas kita hanya menyampai
dengan cara yang baik. Para Nabi pun tidak diberi tugas untuk memaksa orang
lain.
Ya, periksalah sebabnya mengapa orang tidak
mau ikut. Mungkin karena kelemahan kita atau kita tidak menunaikan hak usaha
ini dengan sempurna maka Allah mendzahirkan akibatnya. Setelah itu, berazam
untuk memperbaiki mutu kerja dan berdoa kepada Allah memohon taufiq agar dapat
membuat usaha dengan sungguh-sungguh.
Beliau berkata, “Karkun lama pergi kemana
pun harus berusaha menziarahi alim ulama yang hak dan orang-orang shalih untuk
mendapat manfaat rohani bukannya langsung memberi dakwah kepada mereka. Mereka
memang telah sibuk dalam urusan agama dan sudah tentu lebih faham dan
berpengalaman tentang agama. Kamu tidak akan dapat memahamkan mereka bahwa
usaha ini lebih penting dan lebih berfaidah dari usaha lain. Mungkin mereka
tidak akan setuju atau tidak akan menerima perkataan anda. Dan apabila mereka
telah berkata ‘TIDAK’ maka akan sangat sulit untuk diubah menjadi ‘YA’.
Kemungkinan juga, orang awam yang
mengikutinya, tidak akan mau mendengar dakwah kita. Dan kesannya mungkin akan
menimbulkan syak pada diri anda. Maka niat menziarahi alim ulama hanya untuk
mengambil faidah rohani saja. Walau bagaimanapun, berusahalah di sekitar tempat
ulama tersebut dengan menjaga tertib dan usul dakwah. Kesan baik usaha ini
diharap akan sampai kepada mereka dan menjadi tarikan untuk mereka menerima
kerja ini. Kemudian setelah mereka menyukai anda dan kerja ini, maka mintalah
mereka mengawasi kerja ini. Kemudian dengan adab dan sopan santun berilah
penerangan mengenai kerja ini.”
ULASAN KAMI:
Ayat ini "Kemudian dengan adab dan sopan santun berilah penerangan mengenai kerja ini.” menguatkan lagi bukti bahawa method dakwah jemaah tabligh BUKAN dari sunnah Rasulullah dan para sahabat sebab MUSTAHIL ulama yang merupakan pewaris para nabi yang memperolehi ilmu syariat secara bersanad (bersambung) hingga sampai kepada Rasulullah saw boleh tidak tahu kaedah dakwah Nabi sehingga perlu diajar oleh orang jahil dan tidak berilmu...???
Malfuudzaat 30
Beliau berkata, “Apabila kita temui alim
ulama atau orang shalih yang tidak membantu kerja ini dimana-mana, janganlah
kita bersangka buruk terhadap mereka. Bahkan hendaklah kita faham bahwa hakikat
kerja ini belum terbuka dengan sempurna kepada mereka. Kita harus sadar bahwa
mereka adalah khadam agama yang khas maka syaithan lebih kuat memusuhi mereka
(pencuri akan mencuri benda berharga saja). Bahwa orang-orang sibuk dalam
urusan dunia yang hina ini pun merasa berat untuk meninggalkan urusannya untuk
menyambut takaza agama, apalagi ahli agama yang merasa urusan mereka tinggi. Bagaimana
mereka mudah mau meninggalkannya? Orang-orang arif berkata, ‘Hijab-hijab cahaya
lebih tebal dari hijab-hijab kegelapan.’”
Dalam satu perhimpunan beliau berkata, “Di
antara tertib dakwah ialah dalam dakwah umumi ucapan
boleh dengan nada tegas dan dalam dakwah khususisebaiknya dengan nada lemah
lembut. Namun apabila khususi itu untuk ishlahboleh
juga digunakan ucapan-ucapan yang keras. Rasulullah saw pun apabila orang-orang
tertentu melakukan kesalahan maka beliau menegurnya dengan amaran.
Dalam satu majelis beliau berkata, “Sudah
menjadi kebiasaan kita merasa gembira dengan kata-kata yang menyuruh berbuat
kebaikan dan kita menganggap kata-kata itu sebagai perbuatan baik.
Tinggalkanlah kebiasaan itu dan buatlah kerja, sebagaimana tersebut:
“Hai kamu yang biasa bersuka ria dengan nasihat-nasihat baik
Tinggalkanlah nasihat-nasihat itu dan gantilah dengan amal-amal baik”
Dalam satu perhimpunan beliau berkata,
“Masa adalah seperti kereta api yang sedang bergerak. Jam, menit, dan detik
adalah seperti gerbong-gerbong dan kesibukan kita adalah seperti
penumpang-penumpang. Saat ini kesibukan duniawi yang hina sudah memenuhi semua
gerbong sehingga tidak bisa masuk lagi kesibukan akhirat yang mulia untuk masuk
ke dalam gerbong. Tugas kita sekarang adalah berangsur-angsur menyingkirkan
kesibukan-kesibukan yang hina dan rendah itu lalu menjemput kesibukan-kesibukan
yang mulia dan agung, yang dirhidai Allah dan bergerak menuju kejayaan dunia
dan akhirat.”
Dalam suatu majelis beliau berkata, “Berapa
banyak pun amal baik yang kita perbuat dengan taufik dari Allah, kita hendaklah akhiri
setiap amal itu denganistighfar.
Maksudnya pada penutup setiap amal, sebaiknya di akhiri denganistighfar sebagai ungkapan masih terdapatnya
kekurangan atau kesalahan dalam melaksanakan amalan itu. Segala kesalahan dan
kekurangan tersebut selayaknya diikuti dengan istighfar.
Rasulullah saw pun senantiasa beristighfar setelah mengerjakan shalat.. Maka
kerja tabligh juga
hendaklah diakhiri dengan istighfar karena kita sebagai hamba tentunya
tidak dapat menunaikan hak-hak kerja Allah ini dengan sempurna. Dan karena
kesibukan dengan kerja ini tentunya banyak hak kerja lain yang tidak dapat kita
tunaikan. Maka untuk menggantikan semua kekurangan itu, hendaklah diakhiri
dengan istighfar setelah melakukan amalan baik.”
Pada suatu hari, setelah shalat subuh,
banyak karkun lama berkumpul untuk khuruj di Masjid Nizamuddin. Mailana Ilyas
rah a. sangat lemah dan terbaring karena sakit. Beliau tidak dapat berbicara,
maka dengan berbisik kepada khadam khususnya, beliau telah menyampaikan bayan
hidayah kepada mereka, “Perjuangan dan usaha kamu ini akan menjadi sia-sia jika
tidak dijalin dengan ilmu dan dzikir. Bahkan akan menjadi sesuatu yang sangat
mudharat. Jika tidak disertai dua perkara ini, usaha ini akan membuka pintu
fitnah dan pintu kegelapan yang baru. Tanpa ILMU, Iman dan Islam hanya sekedar
adat dan nama saja. Ilmu tanpa DZIKIR hanyalah Dzulumat (kegelapan). Banyak
dzikir tanpa ILMU adalah bahaya.
Nur ILMU akan datang melalui Nur
Dzikrullah. Dan Dzikrullah tanpa ILMU, tidak akan mencapai natijah yang hakiki.
Bahkan ahli sufi (Dzakiriin) yang jahil dijadikan syaithan sebagai alatnya.
Untuk itu ilmu dan dzikir sangat penting untuk menjalankan usaha dakwah ini,
tidak diabaikan dan harus diberi perhatian khusus. Jika tidak, kerja tabligh
hanyalah satu pengembaraan saja dan kalian akan mengalami kerugian besar.
Semoga Allah melindungi kita.”
Maksud nasihat Maulana Ilyas rah a. agar
karkun tidak menganggap hanya usaha, susah payah, safar, dan hijrah serta
pengorbanan dan berkorban untuk orang lain sebagai kerja yang asal, seperti
yang banyak dipahami secara umum sekarang ini. Hendaklah ingat bahwa
bersungguh-sungguh menjalankan taklim wa ta’allum dan dzikrullah –
menghubungkan diri dengan Allah- harus dijadikan sifat asli dalam diri kita dan
kewajiban kita yang terpenting. Dengan kata lain, bukan saja menjadi tentara
agama atau mubaligh tetapi juga menjadi penuntut ilmu agama dan hamba yang
senantiasa mengingati Allah SWT.
Saat terakhir saya berada di sana pada
pertengahan bulan Juni, Maulana Ilyas rah telah mengucapkan sebuah syair,
“Hidupku akan sebentar lagi berakhir, kasih! Marilah kita hidup bersama
untuk beberapa hari. Jika kamu dating setelah daku meninggal, kamu akan gagal
dan menyesal.”
Saya sangat terkesan mendengar ucapannya
sehingga berlinangan air mata tanpa disadari. Kemudian beliau berkata, “Apakah
kamu ingat janjimu?” Saya pernah berjanji untuk melapangkan masa dalam tabligh.
Saya menjawab, “Ya saya masih ingat, tetapi sekarang cuaca di Delhi sangat
panas. Di bulan Ramadhan ada tartil. Saya akan beri masa selepas Ramadhan.”
Beliau menjawab, “Kamu sebut mengenai Ramadhan sedangkan bulan Sya’ban pun saya
belum tentu ada harapan.”
(Sepuluh hari sebelum bulan Sya’ban, pada
waktu subuh 21 Rajab 1363H/1944M. Beliau kembali kepada Khaliqnya)
Saya berkaya, “Baiklah sekarang juga saya
memberi masa untuk Tabligh. Janganlah Maulana susah hati”. Mendengar jawaban
saya, berseri-seri wajah beliau lalu memeluk leher saya, mencium kening saya
dan memeluk saya dengan dadanya sambil berdoa untuk saya. Kemudian beliau
berkata, “Kamu telah mendekati saya. Banyak ulama yang ingin memahami maksud
saya tetapi dari jauh.” Kemudian beliau menyebut nama seorang ulama besar dan
berkata, “Beliau selalu ikuti kerja dakwah ini. Tetapi jika kamu bertanya, maka
saya akan menjawab: Dia belum faham apa yang saya inginkan karena dia
menghubungi saya melalui wakil. Bagaimana saya boleh memahamkannya jika wakil itu
pun tidak faham. Oleh karena itu saya ingin kamu ikut bersama saya beberapa
hari supaya kamu dapat memahami keinginan dan maksud saya. Ia tidak dapat
difahami dari jauh. Saya tahu kamu telah ambil bagian dalam dakwah ini memberi
taqrir di majelis-majelis dan pendengar mendapat banyak faedah darinya, tetapi
bukan dakwah seperti itu yang saya kehendaki.”
ULASAN KAMI:
Satu lagi bukti kukuh yang menunjukkan method (kaedah) dakwah jemaah tabligh bukan berdasarkan sunnah Nabi tetapi hasil CIPTAAN yang beliau perolehi dari mimpi.
Dalam suatu mudzakarah beliau berkata,
“Sebuah hadits menyatakan Addunya
sijnul mu’min wa jannatul kaafir Dunia adalah penjara bagi orang Mukmin
dan surga bagi orang kafir”
Maksudnya ialah kita dihantar ke dunia
bukan untuk hidup mengikuti kehendak dan keinginan nafsu dan syahwat kita,
menjadikan dunia ini surga. Bahkan kita dihantar ke dunia ini untuk melawan
hawa nafsu dan mentaati hukum-hukum Allah SWT dimana dunia adalah penjara bagi
orang Mukmin. Jika kita hidup mengikuti hawa nafsu seperti orang kafir berarti
kita telah menjadikan dunia ini sebagai surga, justru kita telah mengambil hak
orang kafir dan dalam keadaan ini nushrah Allah tidak akan bersama orang yang
mengambil hak, malah pertolongan Allah akan bersama orang-orang yang diambil
haknya.”
Kemudian beliau berkata, “Fikirkanlah
perkara ini!”
Beliau berkata, Melihat keberkatan kerja tabligh ini, orang-orang menyangka bahwa kerja
sedang berjalan. Padahal, kerja dakwah adalah sesuatu yang lain dan keberkatan
adalah sesuatu yang lain pula.
Lihatlah ketika lahir Rasulullah saw,
keberkatan telah didzahirkan sedangkan Dakwahnya bermula setelah beberapa tahun
kemudian. Maka hendaklah kita fahami. Saya berkata benar bahwa kerja dakwah
yang asli belum bermula lagi. Apabila kerja dakwah ini telah bermula maka
keadaan muslimin akan kembali seperti keadaannya ketika 700 tahun yang silam.
Apabila kerja dakwah yang sebenar tidak bermula maka berlaku keadaan seperti
sekarang ini. Ramai orang menganggap bahwa dakwah kita hanyalah seperti
pergerakan-pergerakan lain dan ramai karkun yang hilang tujuan. Fitnah yang
sepatutnya datang selepas masa beratus tahun, akan datang dalam beberapa tahun.
Maka sangat penting perkara ini difikirkan.”
Pada suatu haru, sebelum shalat Jumat, saya
telah berkhutbah di Masjid Assembly di Delhi atas kehendak Maulana. Setelah
shalat Jumat saya tidak pulang ke Nizamuddin tetapi bermalam di tempat seorang
saudara. Esoknya di Nizamuddin saya beri alasan, “Atas permintaan saudara saya,
saya terpaksa bermalam di Delhi.” Beliau berkata, “Maulana tidak perlu beri
alasan, karkun memang begitu. Jangan bimbang. Ada beri bayan di Masjid
Assembly?” Saya jawab, “Ya, ada.” Beliau gembira dan berkata, “Lihatlah, mereka
tidak mengundang kita atas alasan tidak ada waktu dan sibuk dengan dunia. Maka
kita perlu pergi kepada mereka untuk bertabligh.” Beliau bertanya, “Apakah yang
kamu bayankan?” Saya beritahu, “Saya bayan mengenai ayat, Inna
fii khalqis samaawaati wal ‘ardhi wakh tilaafil laili wannahaari la ayaati
liulil albaab. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi
dan pertukaran malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang berakal. (Ali
Imran (3) : 190)
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang
berakal ialah mereka yang berfikir mengenai alam ini, mengenali serta
senantiasa mengingati Sang Penciptanya, bukan mereka yang terperdaya dengan
benda di antara bumi dan langit dan tidak mengenali Rabb nya. Kemudian saya
terangkan kepentingan dan hakikat dzikrullah, setelah itu kepentingan tabligh.
Beliau berkata, “Perkara itu terlalu tinggi, tidak sesuai dengan majlis itu.
Bayan kamu itu sesuai dalam majelis di sini. Yang sesuai di sana ialah ayat
ini, wal ladziinajtanabuuth thaaquuta aiya’buduuhaa wa
anaabuu ilallahi lahumul busyra fabasysyir ‘ibaad.“Dan
orang-orang yang menjauhi thaqut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada
Allah bagi mereka kabar gembira, maka hendaknya beri kabar gembira kepada
hamba-hamba Allah.” (Az Zumar (39) : 17)
Kemudian beliau berkata, “Majelis di situ
masih rendah derajatnya dan ucapan yang sesuai disana ialah, Hadahumullah
(Semoga Allah memberi hidayah kepada mereka).” Saya menjawab, “Ya, benar. Bila
datang lagi saya akan sampaikan ayat ini di sana.”
Dalam suatu majelis beliau berkata, “Maksud
asal kerja Tabligh kami ialah memalingkan keyakinan manusia dari thaqut dan
kembali kepada Allah. Perkara ini tidak dapat dicapai kecuali dengan
pengorbanan. Dalam agama ada pengorbanan diri dan pengorbanan harta.
Pengorbanan diri adalah keluar meninggalkan kampung halaman karena Allah untuk
menyebarkan kalimah Allah dan agama. Pengorbanan harta ialah menanggung sendiri
perbelanjaan sewaktu keluar di jalan Allah. Jika diri sendiri ada halangan
untuk keluar maka beri semangat dan galakan kepada orang lain agar keluar
bertabligh. Dikatakan bahwa, Addaalu ‘alal khairi kafaa’ilihi Orang yang menunkukkan kepada kebaikan
akan mendapat pahala seperti orang yang membuat kebaikan itu.
Sebanyak mana kita usaha agar orang lain
keluar bertabligh maka sebanyak itu kita akan mendapat pahalanya. Apabila kita
membantu dengan harta maka kita akan mendapat pula pahala pengorbanan harta.
Kemudian kita anggaplah orang yang keluar itu telah berbuat kebaikan kepada
kita karena ia telah membantu melaksanakan kewajiban kita yang terhalang.
Begitulah agama, orang yang tertinggal dan uzur, menganggap orang yang berjuang
itu telah berbuat kebaikan kepadanya.”