Saturday, 5 May 2012

menjawab mimpi Maulana Ilyas



Dalam upaya membenarkan penafsirannya terhadap ayat Q.S. Ali Imran : 110 dengan berdasarkan mimpi sebagaimana yang dialami , Muhammad Ilyas mengutip hadits Nabi SAW yang berbunyi : 
Mimpi adalah satu perempat puluh enam dari pada nubuwah (kenabian)”[1] 

Timbul pertanyaan :
1. Bolehkah berhujjah dengan menggunakan dalil mimpi dalam menafsirkan Al-qur’an dan penetapan hukum?
2. bagaimanakah tafsir Q.S. Ali Imran : 110 menurut ahli tafsir yang muktabar di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah ?
3. Bagaimanakah penafsiran hadits Nabi “mimpi adalah satu perempat puluh enam dari pada nubuwah (kenabian)” menurut tafsir yang muktabar ?

Analisis

1. Jawaban pertanyaan pertama

Dalam khazanah sejarah penggalian hukum Islam tidak pernah dikenal penetapan suatu hukum atau penafsiran ayat Al-Qur’an berdasarkan mimpi, mulai dari sahabat Nabi sampai dengan sejarah imam-imam mujtahid. Manusia selain Nabi adalah tidak ma’shum. Tidak ada jaminan mimpi seorang manusia selain Nabi tidak dipengaruhi bisikan-bisikan syaithan. Hanya mimpi para Nabi merupakan kebenaran sebagaimana mimpi Nabi Ibrahim diperintah Allah SWT menyembelih anaknya, Ismail.[2] 
Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
(لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ  
Artinya : Sesungguhnya Allah telah membenarkan Rasul-Nya mengenai mimpi yang haq.(Q.S. Al-Fath : 27)

Ahmad Shawy dalam menafsirkan ayat di atas, mengatakan bahwa Allah menjadikan mimpi Rasul-Nya sebagai suatu yang benar dan pasti, yang tidak dapat diganggu oleh Syaithan. Karena Rasul Allah itu ma’shum termasuk di dalamnya Rasulullah SAW dan para Anbiya.[3] Berdasarkan keterangan Tafsir Shawy ini dapat dipahami mimpi selain Rasul Allah tidak dapat dijadikan pegangan apa lagi dalam berhujjah, karena selain Rasul Allah tidak ma’shum dan tidak ada jaminan mimpi tersebut benar-benar datang dari Allah SWT dan bukan dari bisikan Syaithan.

Keterangan ulama muktabar lainnya mengenai kedudukan mimpi dalam penetapan hukum antara lain :

1. Ibnu Shalah dalam kitab Fatawanya :
“Masalah : Seorang laki-laki mendakwa dirinya bermimpi bertemu Nabi SAW dalam tidurnya. Nabi SAW mengatakan suatu perkataan yang mengandung hukum syar’i, maka apakah boleh mengamalkannya ?. Beliau (Ibnu Shalah) menjawab : “Tidak boleh memegang hal itu berdasarkan apa yang dilihat dan didengar dari Rasulullah SAW dalam mimpinya. Hal ini bukanlah karena tidak percaya bahwa orang yang melihat Rasulullah SAW dalam mimpi, maka ia melihat kebenaran. Itu dapat dipercaya, tetapi karena tidak dapat dipercaya zhabith orang yang bermimpi tersebut.”[4] 

2. Ketidakhujjahan mimpi dalam penetapan hukum juga dapat kita simak dari pernyataan Zarkasyi dalam Bahrul Muhizh bahwa hukum tidak dapat ditetapkan berdasarkan mimpi kecuali pada diri anbiya atau pengakuan mereka.[5]

3. Al-Ustaz Abu Ishaq Syairazi berkata : 
“Tidak boleh menetapkan sesuatu berdasarkan mimpi. Oleh karena itu, kalau seseorang bermimpi melihat Nabi SAW memerintahnya menetapkan sesuatu hukum, maka tidak lazim mengikutinya”.[6]

4. Ketidakhujjahan mimpi juga dapat dipahami dari uraian Ibrahim Bajuri dalam Hasyiah al-Bajury dalam menjawab isykal masalah penetapan azan dengan mimpi Zaid bin Abdullah yang tersebut dalam riwayat Abu Daud dan Turmidzi. 

Riwayat Abu Daud berbunyi : 
عبد الله بن زيد قال لما أمر رسول الله صلى الله عليه و سلم بالناقوس يعمل ليضرب به للناس لجمع الصلاة طاف بي وأنا نائم رجل يحمل ناقوسا في يده فقلت يا عبد الله أتبيع الناقوس ؟ قال وما تصنع به ؟ فقلت ندعو به إلى الصلاة قال أفلا أدلك على ما هو خير من ذلك ؟ فقلت له بلى قال تقول الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر أشهد أن لا إله إلا الله أشهد أن لا إله إلا الله أشهد أن محمدا رسول الله أشهد أن محمدا رسول الله حي على الصلاة حي على الصلاة حي على الفلاح حي على الفلاح الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله قال ثم استأخر عني غير بعيد ثم قال ثم تقول إذا أقمت الصلاة الله أكبر الله أكبر أشهد أن لا إله إلا الله أشهد أن محمدا رسول الله حي على الصلاة حي على الفلاح قد قامت الصلاة قد قامت الصلاة الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله . فلما أصبحت أتيت رسول الله صلى الله عليه و سلم فأخبرته بما رأيت فقال " إنها لرؤيا حق إن شاء الله فقم مع بلال فألق عليه ما رأيت فليؤذن به فإنه أندى صوتا منك " فقمت مع بلال فجعلت ألقيه عليه ويؤذن به قال فسمع ذلك عمر بن الخطاب رضي الله عنه وهو في بيته فخرج يجر رداءه ويقول والذي بعثك بالحق يا رسول الله لقد رأيت مثل ما رأى . فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم " فلله الحمد "حسن صحيح"

Artinya :Abdullah bin Zaid berkata : Ketika Rasulullah SAW memerintah memukul lonceng untuk mengumpulkan manusia untuk shalat, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya : Hai hamba Allah apakah kamu hendak menjual lonceng itu. Orang tersebut malah bertanya," Untuk apa? Aku menjawabnya, "Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan shalat." Orang itu berkata lagi, "Maukah kau kuajari cara yang lebih baik?" Dan aku menjawab "Ya!" Lalu dia berkata : Engkau katakan : Allahu Akbar Allahu Akbar, Asyhadu alla ilaha illallah Asyhadu alla ilaha illallah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, Hayya 'alash shalah Hayya 'alash shalah, Hayya 'alal falah Hayya 'alal falah, Allahu Akbar Allahu Akbar La ilaha illallah. Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Muhammad SAW menceritakan perihal mimpi itu kepadanya, kemudian Muhammad berkata, "Itu mimpi yang haq insya Allah. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan azan seperti itu dan dia memiliki suara yang amat lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal. Umar bin Khatab r.a. yang lagi berada di rumahnya mendengar azan itu, maka Umarpun keluar dengan menjulurkan rida’nya, kemudian berkata : Demi Tuhan yang mengutus engkau hai Muhammad dengan kebenaran, sesungguhnya aku telah bermimpi sebagaimana yang telah dia mimpikan. Maka Rasulullah bersabda : bagi Allah segala pujian. Berkata Abu Daud : Hadits ini hasan shahih (H.R. Abu Daud)[7] 

dan Riwayat Turmidzi, berbunyi : 

لما أصبحنا أتينا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأخبرته بالرؤيا، فقال: إن هذه لرؤيا حق، فقم مع بلال، فإنه أندى وأمد صوتا منك، فألق عليه ما قيل لك، وليناد بذلك، قال فلما سمع عمر بن الخطاب نداء بلال بالصلاة خرج إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهو يجر إزاره، وهو يقول: يا رسول الله، والذي بعثك بالحق، لقد رأيت مثل الذي قال، قال: فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: فلله الحمد، فذلك أثبت".
Artinya : Ketika pagi tiba, aku ( Abdullah bin Zaid) mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan mimpiku. Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya ini adalah mimpi yang haq. Maka lakukanlah bersama bilal, karena suara Bilal lebih lantang dan nyaring darimu. Ajarilah dia apa yang dikatakan kepadamu dan hendaklah Bilal melakukan azan dengannya. Manakala mendengar azan Bilal untuk shalat, Umar bin Khatab keluar dengan menjulurkan rida’nya, menemui Rasulullah SAW dan berkata : Ya Rasulullah, demi Tuhan yang mengutuskan engkau dengan kebenaran, sesungguhnya aku telah melihat dalam mimpiku sama seperti yang dikatakannya. Bersabda Rasulullah SAW : Bagi Allah pujian. Karena itu, aku tetapkan demikian. (H.R. Turmidzi)[8]

Ibrahim al-Bajuri berkata : 
“Diisykalkan yang demikian itu, dengan sebab bahwa sesungguhnya hukum tidak dapat ditetapkan dengan mimpi. Dijawab, bahwa mimpi tersebut bersesuaian dengan turun wahyu. Maka hukum (penetapan azan) ditetapkan dengan wahyu bukan dengan mimpi”.[9] 

Hal senada juga dapat dilihat dalam Kitab I’anatuthalibin.[10] Pernyataan yang lebih tegas lagi dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam mengomentari hadits di atas, yakni :
“Hal tersebut bukanlah pengamalan dengan semata-mata mimpi. Ini termasuk sesuatu yang tidak diragukan dengan tanpa khilaf”.[11] 

5. Imam al-Nawawi mengatakan : 
“Kalau pada malam tiga puluh Sya’ban manusia tidak melihat hilal, tiba-tiba datang seseorang mengaku melihat Nabi SAW dalam mimpinya dan beliau bersabda kepadanya : “Malam ini adalah awal Ramadhan, maka tidak sah puasa dengan mimpi ini, tidak sah atas yang bermimpi dan tidak sah juga atas orang lain. Keterangan ini telah disebut oleh Qadhi Husain dalam al-Fatawa dan lainnya dari Ashhab kita. Qadhi ‘Iyadh telah mengutipnya sebagai ijmak. Saya (al-Nawawi) telah menetapkannya dengan dalil-dalilnya pada awal Syarah Shahih Muslim. Ringkasannya adalah bahwa syarat perawi, yang meyampaikan berita dan saksi adalah dalam keadaan jaga pada ketika tahammul. Ini mujma’ ‘alaihi, karena sebagaimana di maklumi bahwa bahwa tidur tidak dalam keadaan jaga dan tidak ada dhabith. Oleh karena itu, meninggalkan mengamalkan mimpi ini karena cedera dhabith perawi, bukan karena meragukan mengenai mimpi.[12] 
Imam an-Nawawi di atas, memfatwakan bahwa menentukan awal Ramadhan tidak boleh dengan berpedoman kepada mimpi. Ketidakbolehan ini bukan karena meragukan kebenaran mimpi, apalagi mimpi itu adalah mimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, tetapi karena orang yang bermimpi itu bukan ahli tahammul berita, karena dia dalam keadaan tidur. Oleh karena itu, ketidakbolehan mengamalkan mimpi dalam penetapan hukum bukan hanya berlaku untuk masalah puasa saja, tetapi juga untuk masalah-masalah yang lain, seperti masalah khuruj ala Jama’ah Tabligh. Keterangan yang dikemukakan oleh an-Nawawi di atas, juga dikemukan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dan Bujairumi sebagaimana di bawah ini.

6. Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan : 
“Tidak berpuasa dengan sebab bermimpi berjumpa Rasulullah SAW dalam tidur yang mengatakan bahwa besok bulan Ramadhan, karena jauh dhabith orang bermimpi, bukan diragukan mimpinya”

Syarwani dalam mengomentari pernyataan Ibnu Hajar di atas mengatakan haram berpuasa dan lainnya dengan menyandarkan kepada mimpi tersebut. Alasan beliau adalah karena hukum Allah tidak didapati kecuali dari lafazh dan istinbath. Sedangkan berpuasa dengan mimpi tidak termasuk dalam keduanya.[13] 

7. Bujairumi dalam pembahasan penentuan awal Ramadhan, mengatakan : 

“Tidak diiktibar pula perkataan orang yang mengatakan : “Nabi SAW telah mengabari dalam tidurku bahwa malam ini adalah awal Ramadhan.” Maka tidak sah puasa dengannya dengan ijmak, karena tidak ada dhabith orang yang bermimpi, bukan karena diragukan yang dilihat dalam mimpinya.”[14] 

Berdasarkan pernyataan para ulama di atas, dapat dipahami bahwa para ulama besar tersebut sepakat bahwa mimpi tidak dapat dijadikan hujjah dalam penetapan hukum. Oleh karena itu, dalam kalangan Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, kita hanya mengenal sumber – sumber hukum, yaitu : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, Qaulul Shahaby, Ishtishhab, Maslahah Murshalah, Istihsan, Saddul Zara-i’, Kebiasaan Penduduk Madinah. Mimpi atau ilham tidak termasuk di dalamnya. Mengenai ilham, telah berkata Syekh Zakaria Al-Anshary :
“Ilham yang terjadi pada manusia yang tidak ma’shum tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, karena tidak aman dari tipu daya syaithan”[15] 

Khusus mengenai penafsiran Al-Qur’an, berikut keterangan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai sumber-sumber tafsir yang dapat menjadi pedoman dalam melakukan penafsiran Al-Qur’an, antara lain : 
1. Ibnu Katsir dalam menjelaskan metode tafsirnya mengatakan : 
“ Pada ketika itu, apabila kita tidak mendapatinya dalam Al-Qur’an dan juga tidak pada sunnah, maka kita kembali kepada pendapat sahabat, karena mereka lebih tahu tentang itu”. 

Terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai qaul tabi’in. Menurut pendapat yang shahih tidak menjadi hujjah.[16] 
2. Berkata Ahmad`Shawy :
“Sumber tafsir adalah al-Kitab, al-Sunnah, atsar dan ahli fashahah dari orang-orang Arab asli.”[17] 

3. Zarkasyi menjelaskan kepada kita bahwa ada empat sumber tafsir, yaitu naqal (kutipan) dari Rasulullah SAW, perkataan sahabat, muthlaq lughat dan muqtazhaa makna kalam dan muqtazhaa kekuatan syara’. Penggunaan perkataan sahabat adalah karena perkataan sahabat ditempatkan pada posisi marfu’. Sedangkan perkataan tabi’in terjadi perbedaan ulama dalam menjadikannya sebagai sumber tafsir.[18] 
Memperhatikan keterangan ulama di atas, kita bertanya-tanya, pedoman apa yang dipergunakan oleh Maulana Muhammad Ilyas, pendiri Jama’ah Tabligh ini sehingga berani mentafsirkan suatu firman Allah berdasarkan mimpinya ?.
Sebagian pengikut Jama’ah Tabligh (Mulwi Ahmad Harun Al-Rasyid)[19] dalam membenarkan penafsiran al-Qur’an dengan mempedomani mimpi ini ada yang mengutip pendapat Ibnu Daqiq al-‘Id yang dikutip oleh Zarkasyi dalam Kitab Bahrul Muhizh, yaitu 
“Apabila perintahnya dengan sebuah perintah yang penetapannya pada waktu jaga adalah sebaliknya, seperti perintah meninggalkan wajib atau perintah meninggalkan sunat, maka tidak boleh mengamalkannya dan apabila perintah dengan sesuatu yang tidak ada penetapan sebaliknya pada waktu jaga, maka dianjurkan mengamalkannya”. 

Argumentasi Mulwi Ahmad Harun Al-Rasyid ini kita bantah dengan beberapa penjelasan, yaitu : 

1. Pendapat Ibnu Daqiq al-‘Id ini adalah pendapat dha’if (wajh dha’if). Jadi tidak dapat dijadikan hujjah dalam penetapan suatu hukum, apalagi sebagai pedoman dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini sesuai dengan keterangan pengarang Bahrul Muhith sebelumnya pada halaman yang sama, yaitu : 
“ Pendapat yang kuat adalah yang pertama, karena hukum tidak dapat ditetapkan berdasarkan mimpi kecuali pada haq anbiya atau pengakuan mereka.”

2. Kalaupun kita berpedoman kepada pendapat Ibnu Daqiq al-‘Id di atas, maka mimpi yang boleh diamalkan menurut beliau adalah mimpi yang tidak bertentangan dengan ketetapan hukum yang wujud pada waktu jaga. Berdasarkan uraian pada jawaban yang kedua setelah ini, jelas nampak bahwa tafsir Q.S. Ali Imran :110 ala Muhammad Ilyas adalah bertentangan dengan tafsir yang bersumber dari sahabat Nabi dan ketetapan hukum yang ditetapkan para ulama muktabar di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah. Oleh karena itu, kalaupun kita membenarkan pendapat Ibnu Daqiq al-‘Id di atas, toh tetap tidak dapat membenarkan tafsir mimpi ala Muhammad Ilyas tersebut
(bersambung.......)

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansur Nu,mani, Malfudhat, (Terjemahan oleh Humayun Chowdhury), Pustaka Timur, Trengganu, Malaysia, Hal. 40
2. Al-Baidhawy, Tafsir Anwarul Tanzil wa Asrarul Takwil, Muassasah Sya’ban, Beirut, Juzu’ V, Hal 9 dan Ahmad Shawy, Tafsir Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juzu’ III, Hal. 342
3.Ahmad Shawy, Tafsir Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia Juz. IV, Hal 105
4. Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Darul Hadits, Kairo, Hal. 135
5. Zarkasyi, Bahrul Muhizh, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 49
6. Zarkasyi, Bahrul Muhizh, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 49
7.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 189, No. Hadits : 499
11.Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 122, No. Hadits : 189
8.Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajury, al-Haramain, Singapura, Juz I, Hal. 160
9.Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juzu’ I, Hal. 229.
10. An- Nawawi, Syarah Muslim, Darul Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. IV, Hal. 76
11.An-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab, Maktabah Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 292 
12.Ibnu Hajar al-Haitamy dan Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiahnya, Mathtba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. III, Hal. 373-374
13. Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III, Hal. 102
14. Zakariya al-Anshary, Ghayatul Wushul Syarah Labbul Ushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal 140 
15.Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Thaibah, Juz. I, Hal. 7 dan 10
16.Ahmad Shawy, Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juzu’ I, Hal. 2
17.Zarkasyi, al_Burhan fi Ulum al-Qur’an, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. II, Hal. 156-161
18.Mulwi Ahmad Harun Al-Rasyid, Meluruskan Kesalapahaman Terhadap Jaulah (Jama’ah Tabligh), Pustaka Haramain, Hal. 47
19. Zarkasyi, Bahrul Muhizh, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 49

3 comments:

  1. Assalamualaikum,
    Disini saya sekadar ingin berkongsi maklumat..

    Perihal mimpi Hazrat Maulana Ilyas Rahimahullah, bolehlah dirujuk muzakarah mengenainya disini
    http://usahadawah.wordpress.com/2008/06/29/jawaban-terhadap-komentar-seorang-salafi-yang-berkaitan-dengan-mimpi-maulana-ilyas-1/
    ... dan juga artikel-artikel yang seterusnya, dan yang berkaitan.

    Terima kasih

    ReplyDelete
  2. Pengikut tabligh begitu taksub dan terlalu mengagungkan maulana ilyas sehingga apa sahaja yang terbit drp beliau tidak pernah dikaji akan kesahihannya.Seolah-olah maulana ilyas ini maksum (tiada dosa) seperti para nabi dan rasul.Nauzubillahi min zalik....

    Mari kita kaji dan nilai sendiri pernyataan ini:

    Muhammad Ilyas berkata :
    “Cara tabligh ini telah dikasyafkan kepada saya dalam mimpi….. ”.
    Ini merupakan kutipan dari Kitab Malfuzat(hlmn:40- Terjemahan kedalam Bahasa Melayu oleh Humayun Chowdhury, Pustaka Timur, Trengganu, Malaysia) . Untuk memudahkan memahami kutipan di atas, berikut ini redaksi pernyataan Muhammad Ilyas tersebut yang dikutip dari Kitab Malfuzat oleh pengarang Kasyful Syubhah yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Syaikh H. Hasanoel Bashry HG, yakni : “Karena ini wahai para pengikutku yang setia usahakanlah tidur pemimpinmu ini nyenyak dan nyaman. Apabila aku kurang tidur karena panas panggil dokter dan tabib, pakailah minyak wangi pada kepalaku bila petunjuknya demikian supaya lebih banyak tidurku. Ketahuilah ! aku menemukan jalan bertabligh ini melalui mimpi dan Allah juga mengajariku dalam mimpi penafsiran ayat 110 surah ali imran.

    PERSOALAN YANG PERLU DIJAWAB IALAH:

    1. Pernahkah ada para ulama mufassirin dahulu menafsirkan al quran dalam kitab-kitab mereka berdasarkan mimpi walaupun satu ayat??
    kalau ada sila nyatakan nama ulama dan nama kitabnya.

    2. Adakah sebelum maulana ilyas memperolehi tafsir ayat al quran tersebut melalui mimpi ,kitab tafsir muktabar belum ada atau ulama dahulu terlepas pandang akan tafsiran ayat 110 itu??

    3. Adakah maulana ilyas termasuk dalam kelompok ulama mufasirin sehingga tafsiran beliau itu berautority dan muktabar untuk diikuti(wajib)??

    4. Adakah maulana ilyas menjadi panutan di kalangan penuntut ilmu tafsir al quran??

    Kalaulah tafsir ayat 110 surah ali imran yang didakwa oleh maulana ilyas itu diajar sendiri olah Allah(pasti sahih?) dalam mimpi beliau maka secara logiknya kesemua umat islam sejak dahulu(sebelum mimpi itu berlaku) hingga sekarang adalah sesat termasuk ulama tafsir kerana sudah barang tentu umat islam dahulu beragama dengan tafsiran ulama mufasirin(Ibnu Abbas ra,al qurthubi,ibnu kastir dll).

    Apakah sidang pembaca yang mengaji di Al azhar,Jordon dll bersetuju dengan tuduhan sesat ini??

    ReplyDelete
  3. Tuan,
    Saya telah memberi link blog yang membahaskan perkara ini secara ilmiah. Terpulang kepada tuan untuk membacanya dan menerimanya, atau tidak membaca dan menolaknya. Tuan juga boleh menutup mata dan berterusan mengulang-ulangi dakwaan tuan ini.

    Yang ingin saya katakan disini, tiada sebab untuk taksub kepada Maulana Ilyas Rahimahullah. Beliau pun manusia biasa seperti saya dan tuan. Tapi Allah boleh saja memilih dikalangan hamba-Nya untuk khusus hampir dengan-Nya, dan boleh juga menjadi khususil khusus. Tuan sebagai ASWJ tentunya menerima akan wujudnya para wali Allah di muka bumi ini.

    Mimpi Maulana Ilyas ini tidak pernah dijadikan sandaran dalil syariah untuk menjalankan usaha tabligh ini. Ia hanyalah sebagai berita gembira yang disampaikan, seperti yang digalakkan Nabi untuk kita bercerita mimpi-mimpi yang baik.

    Tafsiran ayat ini (menurut Sayyidina Umar) ialah sebaik-baik ummat yang dimaksudkan ialah para sahabat dan pengikutnya. Inilah yang dibuat melalui usaha ini; berusaha agar ummat akhir zaman ini dapat menyerupai dan mengikuti para sahabat.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...