Sunday 30 December 2012

Polimik: Kerja Nabi VS Waris Nabi


Sabda Rasulullah s.a.w.

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسّكتُمْ ِبهِمَا كتابُ الله وَسنَّةُ رسُوْلِهِ

Maksudnya: “ Aku tinggalkan kepada kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat buat selama-lamanya sekiranya kamu berpegang teguh dengan kedua-dua perkara tersebut, iaitu Kitabullah (Al Quran) dan sunnah RasulNya (Al Hadith)

dan

Sabda Rasulullah s.a.w
.
"Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan permudahkannya untuk masuk syurga. Para malaikat akan mengepakkan sayapnya keatas pencari ilmu, kerana mereka suka dengan apa yang dilakukannya. Orang yang berilmu dimintakan ampun oleh semua yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan-ikan di air juga turut memohon ampun untuknya. Keutamaan orang yang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan di atas bintang. Para ulama adalah pewaris nabi dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Sehingga orang yang mengambilnya benar-benar telah mengambil bahagian yang sempurna"
(HR Imam Bukhari)

Sidang pembaca yang dirahmati Allah

Kita sebagai umat islam biasa mendengar atau membaca dua teks hadith di atas samada dibaca melalui buku,kitab dan internet atau kita mempelajari hadith secara bertalaqqi dengan alim ulama,ustaz dan seumpamanya.

Secara umumnya hadith tersebut menceritakan kelebihan ilmu dan orang yang menuntut ilmu.Contohnya hadith pertama membawa maksud al quran dan sunnah itu mewakili ajaran Rasullah saw atau sebagai ganti batang tubuh utusan Allah yang terakhir untuk umat sehingga hari kiamat.Manakala hadith kedua pula berkenaan  manusia yang mewarisi ilmu para nabi yang di sebut ulama.Mereka inilah yang diberi keistimewaan oleh Allah menjadi pewaris (ilmu) para nabi dan rasul.

Ilmu yang dimaksudkan ialah menguasai khazanah yang terkandung dalam al quran dan al hadith.Tetapi mutakhir ini muncul pula ungkapan baru yang berbunyi " dakwah ikut cara nabi" atau " kita buat usaha nabi@kerja nabi".

Sekali imbas ungkapan ini agak pelik bunyinya.Kita agak hairan juga darimana asalnya ungkapan ini kerana tidak ada hadith atau ayat al quran yang perintah kita " DAKWAHLAH KAMU SEBAGAIMANA KAMU MELIHAT AKU BERDAKWAH" atau " KAMU TIDAK AKAN SESAT SELAMANYA SELAGI KAMU BUAT KERJA NABI" dan lain-lain.

Apa yang sahih datang dari Nabi saw ialah kewajipan menuntut ilmu dan mengamalkannya serta menyebarkannya kepada orang lain.Buktinya banyak hadith sahih perintah wajib menuntut ilmu dan riwayat di bawah:




Pernah suatu hari Abu Hurairah berjalan melewati pasar Madinah. Beliau kemudian berhenti dan berkata, “Hai orang-orang di pasar, betapa malangnya kalian ini!” Mereka bertanya, “Mengapa demikian, wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab, “Itu warisan Rasulullah sedang dibahagi-bahagikan, sementara kalian tetap disini. Mengapa kalian tidak pergi kesana dan mengambil bagian kalian?” Mereka bertanya, “Dimana?” Beliau menjawab, “Di masjid.” Maka, mereka pun bergegas-gegas keluar menuju masjid. Abu Hurairah sendiri diam di tempatnya, sampai akhirnya mereka kembali lagi. Beliau bertanya, “Mengapa (kalian kembali)?” Mereka menjawab, “Hai Abu Hurairah, kami telah mendatangi masjid dan masuk ke dalamnya. Tapi, kami tidak melihat apapun yang sedang dibahagikan.” Beliau bertanya, “Apa kalian tidak melihat seorang pun disana?” Mereka menjawab, “Ya, benar. Kami melihat sekelompok orang sedang mengerjakan shalat, sekelompok yang lain sedang membaca Al-Qur’an, dan sekelompok lagi sedang mempelajari halal-haram.” Abu Hurairah berkata, “Celaka kalian ini! Itulah warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam!.”
(Riwayat Thabrani dalam al-Awsath, dengan isnad hasan).

Benar, para Nabi tidak mewariskan emas, tanah, rumah, atau barang-barang duniawi untuk dibahagi, dilelong dan diperebutkan. Mereka mewariskan ilmu, keyakinan, dan bimbingan. Oleh karenanya, Rasulullah bersabda, “Sungguh, ulama’ adalah pewaris para Nabi. Sungguh, para Nabi tidaklah mewariskan dinar (emas) maupun dirham (perak), namun mereka hanyalah mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, sungguh ia telah mengambil bagian yang sangat banyak.”
(Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Abu Darda’. Hadits shahih).

Keinginan kuat untuk mendapatkan bagian dari “warisan kenabian” inilah yang mendorong para ulama di masa silam mengembara ke seluruh penjuru untuk mengambil hadits. Dalam keadaan prasarana Abad Pertengahan yang masih serba manual, mereka menempuh jarak ribuan kilometer untuk menemui para guru yang  terkadang hanya menyimpan satu dua teks hadith saja. Mereka tidak perduli, sebab “warisan kenabian” itu tidak boleh terlewatkan satu pun. Dengan tangannya pula mereka mencatat sendiri ratusan ribu bahkan, hampir mencapai sejuta  teks hadits yang berlain-lainan.

Ahmad bin Mani’ bercerita: Ahmad bin Hanbal berjumpa dengan kami di jalan, dan beliau baru datang dari Kufah sementara di tangannya ada sejumlah kertas yang berisi salinan kitab-kitab. Saya pun meraih tangannya dan berkata, “Sekali waktu ke Kufah, lalu di lain waktu ke Bashrah, sampai bila? Bila seseorang telah mencatat 30.000 hadits, apa tidak cukup?” Beliau diam. “Apakah 60.000 tidak cukup?” Beliau tetap diam. “Apakah 100.000 tidak cukup?” Beliau menjawab, “Saat itulah dia baru mengerti ‘sesuatu’!” (Dari: al-Madkhal ila Madzhabi al-Imam Ahmad bin Hanbal, karya Ibnu Badran ad-Dimasyqi).
Apakah Anda dapat membayangkan kesungguhan dan tekad macam apa yang berkobar di balik kata-kata: “mencatat seratus ribu hadits dengan tangan sendiri”? Kita mungkin bisa memperlekehkan hal itu di masa sekarang, sebab pencarian dengan komputer sudah sangat menyenangkan. Bahkan, sebagian orang diketahui meng-copy paste karya orang lain, mengganti judulnya, lalu mengatasnamakannya untuk diri sendiri. Namun, di zaman Imam Ahmad semua harus ditulis tangan.
 ‘Amru bin ‘Ashim al-Kilabi berkata, “Saya mencatat belasan ribu hadits dari Hammad bin Salamah.”
‘Abbas ad-Dury berkata, “Saya mencatat 35.000 hadits dari Musa bin Isma’il at-Tabudzaki.”
Abu Dawud berkata, “Saya mencatat 50.000 hadits dari Bundar Muhammad bin Basysyar.”
Abu Zur’ah berkata, “Saya telah mencatat 100.000 hadits dari Ibrahim bin Musa ar-Razy.”
Abul ‘Abbas asy-Syirazi berkata, “Saya telah mencatat 300.000 hadits dari ath-Thabrani.”

Pengakuan semacam ini sangat banyak, dan itu baru dari satu orang guru saja. Bagaimana jika mereka telah mencatat dari ratusan hingga ribuan guru? Ya’qub al-Fasawi dan Abu Dawud berkata, “Saya telah mencatat dari 1.000 orang guru.” Abdullah bin al-Mubarak berkata, “Saya telah mencatat dari 1.100 orang guru…”

Mereka pun memburu “warisan kenabian” dalam rentang yang panjang, hingga belasan tahun. Ahmad bin Salamah, teman karib Imam Muslim, mengaku, “Saya mencatat hadits bersama Muslim – dalam rangka menyusun kitab Shahih-nya – sebanyak 12.000 hadits selama limabelas tahun.” Dalam hal ini, Imam Muslim sendiri berkata, “Saya menyusun kitab Shahih saya ini dari (penyaringan terhadap) 300.000 hadits yang seluruhnya saya dengar langsung (dari guru-guru saya).”

Generasi muslim pendahulu kita tahu benar-benar memahami nilai “warisan kenabian” itu, dan rela membelanjakan seluruh HARTA DAN JIWA miliknya untuk mendapatkannya. Wajar jika mereka mendapat kejayaan dan amal jariyahnya abadi sepanjang zaman. Nama sebagian ahli hadits pernah disebut-sebut di majlis khalifah Harun ar-Rasyid, maka beliau berkata, “Mereka adalah kaum yang abadi, nama mereka akan disebut beriringan dengan nama Rasulullah; sementara kami – para raja – adalah orang-orang yang akan musnah kenangannya.”



By M. Alimin Mukhtar,

kesimpulan:

Berhati-hatilah dengan perkara baru (istilah baru) yang tidak diketahui sumber asalnya secara sahih kerana bimbang ia termasuk dalam bid'ah dholalah yang sesat. Wallahu'alam

Friday 28 December 2012

Benarkah Jesus Christ (Nabi Isa a.s) TIDAK Disalib/Dibunuh ? - Dr ...


Dalam keadaan pengikut tabligh yang taksub dengan arahan maulana dan eldest mereka di India yang melarang berdakwah kepada Non muslim,muncul seorang tokoh pemikir islam yang di beri gelaran "AHMAD DEEDAT KE 2" yang berasal dari India juga berjaya menyanggah 'mitos pelik' syura tabligh dunia itu melalui rakaman video di atas.

Friday 21 December 2012

Para Rasul sebagai pembangkang atau kerajaan?


 Inilah cincin kepunyaan Rasulullah SAW yang juga pernah dijadikan cop mohor kerajaan Islam Madinah.

Sidang pembaca yang di rahmati Allah

Realiti para rasul yang diceritakan oleh al-Quran dan Sunnah Rasulullah s.a.w. adalah pemimpin-peminpin utama negara yang memimpin politik umat manusia di zamannya. Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud:

“Nabi-nabi adalah pemimpin-pemimpin politik bani Israel.” 

– Hadis riwayat Al-Bukhari & Muslim

Yang dalam kerajaan

Nabi Sulaiman a.s. (PM Palestin)
Nabi Daud a.s (PM Palestin) 
Nabi Musa a.s selepas menjatuhkan Firaun di Mesir, 
nabi-nabi yang lebih dahulu termasuk Nabi Adam a.s, Nabi Nuh a.s,  
Nabi Yusuf a.s. dan lain-lain.

Tuntasnya, rasul-rasul yang diceritakan secara terperinci oleh Al-Quran karim adalah pemimpin-pemimpin politik umat di zamannya, dan bukan menjadi penasihat suci sebagaimana peranan pendeta agama dalam gambaran-gambaran sejarah Barat.

Pemimpin-pemimpin politik bermaksud, mereka secara langsung menjadi pencorak kepada kepimpinan negara dan mempunyai kuasa menentukan, bukan sebagaimana penasihat yang hanya berkuasa menasihati tanpa kuasa pemutus.

Jika nabi-nabi tidak boleh berbuat demikian, atau tidak dihalang berbuat demikian, mereka akan menjadi pemimpin pembangkang sebagaimana Nabi Ibrahim, Yahya, Zakaria, Nabi Isa a.s dan lain-lain. Firman Allah yang bermaksud:

“Adalah bagi kamu pada diri Rasulullah s.a.w. itu contoh yang terbaik.” 

– Hadis riwayat Al-Bukhari & Muslim.

Antara teladan yang terpenting ialah, Rasulullah s.a.w. bukan sahaja ketua ibadat seperti imam solat, tetapi Rasulullah s.a.w. adalah ketua politik sama ada sebelum hijrah ketika menentang pemerintahan Quraisy di Makkah dan selepas Hijrah ketika menjadi ketua negara menerajui negara Madinah.

Rasulullah s.a.w. dan para rasul terdahulu bukan menjadi penasihat politik, mereka adalah pemimpin politik dalam erti kata pemutus pada hala tuju organisasi islam, menentukan mana yang boleh mana yang tidak boleh dan mereka bukannya menjadi penasihat yang bersifat pemberitahu tetapi tidak mempunyai kuasa dan autoriti menyuruh dan melarang.

Selepas wafatnya Rasulullah s.a.w., maka tiada lagi nabi selepasnya. Maka yang menjadi galang ganti kepada tugasan baginda s.a.w. sebagai pemimpin politik atau pemimpin organisasi umat islam ialah golongan ulama. Oleh itu yang memegang teraju pemerintahan di zaman selepas Rasulullah s.a.w. ialah di kalangan fuqaha sahabat iaitu sahabat nabi yang memahami hukum hakam yang dibawa oleh nabi s.a.w..

Sememangnya sahabat khulafak ar-Rasyidin berdampingan dengan nabi SAW dalam tempoh yang lama seperti Saidina Abu Bakar yang merupakan khalifah pertama, tetapi perlantikan mereka sebagai khalifah selepas itu bukan atas dasar tersebut, tetapi atas dasar keulamakannya atau keilmuannya tentang hasil daripada perdsampingan mereka dengan Nabi Muhammad SAW. Kepentingan ilmu agama dalam memenuhi prasyarat menjadi pemimpin organisasi Islam jelas tergambar melalui kata-kata Saidina Umar Al-Khattab yang bermaksud

“Dalamilah ilmu agama sebelum kamu dilantik menjadi pemimpin”

Disamping faktor yang boleh membentuk keperibadian yang baik, faktor yang lebih utama daripada itu ialah faktor memastikan hala tuju negara Islam dan gerakan islam di kedudukan selari dengan kehendak wahyu Ilahi. Bagi mencapai tujuan tersebut, kefahaman mereka terhadap maksud dan kehendak wahyu menjadikan mereka golongan berkelayakan memegang tampuk tersebut.

sumber : http://dppwp.wordpress.com/2009/06/08/ucaptama-ketua-dewan-ulama-pas-pusat-2009/

Sunday 16 December 2012

Kekeliruan Orang Tabligh Tentang Makna "Ikut Sunnah Nabi"



Sidang pembaca yang di rahmati Allah

Entri kali ini adalah berkaitan takrif sunnah yang sebenar bagi membetulkan salah faham khususnya golongan tabligh yang merasakan hanya mereka sahaja yang ikut sunnah sedang jemaah lain jauh dari sunnah.

Oleh itu kami merasakan pencerahan ini penting supaya tidak ada lagi cemuhan dan tuduhan melulu orang tabligh kepada para ustaz yang mengajar ilmu islam dengan tuduhan 'tak ikut sunnah' dan lain-lain hanya kerana tak berjanggut,berserban,bersugi seperti mereka.


From: "Tengku Amal Fuad" <amal@shinmsb.po.my>  Save Address Block Sender 
To: soalfikah@hotmail.com 
Subject: Sunnah Rasullullah

Nabi Muhammad ada mengatakan akhir zaman umat islam ini akan terpecah kepada 73 golongan.  Semua masuk neraka kecuali satu.  Lalu bertanya sahabat, bagaimana jika dia berada dalam zaman tersebut, lalu nabi Muhammad mengatakan," gigit Al Quran dan sunnahku kuat2 insyaallah kamu akan selamat".

Soalan saya ialah;- 

Yang dimaksudkan sunnahku itu apakah semua sunnah yang diajarkan yaitu dari yang kecil sehingga sebesar2nya kita kena ikut? Misalannya dari masuk ketandas hingga memerintah negara. Kalau sekiranya masuk ke tandas pun kita tak ikut apakah kita tergolong dalam golongan yang masuk neraka?


Jawapan
Alhamdulillah inilah jawapannya:
Ini adalah termasuk di bawah pembahasan ilmu Usul Feqh. Terimakasih atas soalan yang baik ini.
------------------- 
Sunnah di sini bukanlah bermaksud mandub, iaitu diberi pahala kepada pelakunya dan tidak berdosa kepada orang yang tidak mengerjakannya.


Sunnah di sini bermaksud: Sesuatu yang lahir dari Rasulullah s.a.w., samada perkataan, perbuatan dan pengakuan.
Ia adalah hadis nabi s.a.w. yang merangkumi hukum taklifi dan hukum wad'i. Kita lihat apa definasi hukum menurut Usuliyyun: 

"Khitab (firman) Allah Taala yang berhubungkait dengan perbuatan mukallaf, samada yang berbentuk tuntutan atau pilihan atau menjadikan sesuatu itu sebagai sebab, syarat atau penghalang."


Maksud `khitab Allah' di sini ialah samada ia dinisbahkan secara langsung kepada Allah atau melalui perantara seperti Sunnah, ijma', qiyas dan sumber2 hukum lainnya.

Kita ambil sunnah, mengapa ia dimasukkan di bawah kata `khitab Allah'? Kerana pada hakikatnya sunnah/sabda Rasulullah s.a.w. itu kembali kepada Allah Taala. Sekalipun lahirnya dari Rasulullah s.a.w. tetapi ia diperolehi melalui jalan wahyu.

Sunnah yang mengandungi sabdaan, perbuatan dan taqrir/pengakuan dari Rasulullah s.a.w. yang memberi petunjuk Hukum, adalah dari wahyu Allah Taala, bukan dari hawa nafsu baginda.
-------------------- 
Berpegang kepada al-Quran ialah mengambilnya sebagai sumber hukum. Begitu juga apabila dikatakan berpeganglah kepada sunnah Rasulullah s.a.w. bermaksud mengambilnya sebagai sumber hukum.


Kami melihat beberapa kesilapan di dalam pemahaman masalah ini. Apabila dikatakan: Berpeganglah kepada sunnah, mereka memahami bahawa ia adalah mengamalkan sunnah dalam ertikata mandub.

Ini adalah salah…!!!!!!!

Sunnah dalam ertikata mandub adalah sebahagian kecil dari maksud sunnah dalam ertikata ia sebagai salah satu dari sumber hukum Islam.

Sebab itu kita dapat melihat sebahagian dari umat Islam di negara kita bersungguh-sungguh di dalam mengamalkan sunah yg bermaksud mandub dan dalam masa yang sama mereka terlupa untuk memperjuangkannya sebagai salah satu dari sumber hukum Islam.

Mereka berusaha bersungguh-sungguh membetulkan serban, mengemaskan jubah, menggenggam kuat-kuat kayu sugi, makan di dalam talam dsbnya. Sebahagiannya menganggap bahawa itu adalah sunnah yang disyariatkan. Mereka berbuat demikian dengan fahaman itulah sahaja sunnah yang perlu dipertahankan sebagaimana maksud beberapa hadis. Sebahagiannya pula, ada yang mencela rakan-rakannya yang lain kerana makan di atas meja, tidak menggunakan kayu sugi, tidak berjubah dan berserban. Mereka memandangnya dengan sinis dan berkata: "Bagaimana umat Islam boleh berjaya, tidak ikut sunnah!"

Mengamalkan sunnah za'idah seperti berserban, berjubah, bercelak dsbnya tidak salah samasekali. Malah ia menjadi satu kelebihan bagi pengamal berkenaan, lambang kecintaannya kepada Rasulullah s.a.w. serta akan diberi pahala jika niatnya betul. Tetapi yang salah ialah beranggapan bahawa sunnah yang dimaksudkan oleh sabda Rasulullah s.a.w. ialah sunah-sunah yang begitu sahaja, dengan melupakan atau meminggirkannya sebagai salah satu dari sumber hukum.

Pernah guru kami yang dimuliakan al-Marhum Tuan Guru Haji Abdul Wahab bin Saad, diceritakan kepada kami oleh anakandanya Drs Mohd Redzuan, pada suatu ketika Tuan Guru mendengar radio siaran soaljawab agama. Ustaz radio itu ditanya, "Apa itu Sunnah?" Ustaz itu menjawab: "Buat dapat pahala, tinggal tidak berdosa." Mendengar itu, Tuan Guru hanya tersenyum sahaja menandakan kekeliruan ustaz berkenaan. Bukan salah tetapi keliru.

Oleh itu, apabila diajukan tentang sunnah, perlu difahami dahulu sunnah pada kedudukan mana? Pada kedudukannya sebagai sumber hukum (khitab Allah) atau sebagai salah satu dari pembahagian hukum?
------------------------ 
Sunnah nabi sebagai sumber hukum terbahagi kepada dua: 
1) Yang bersangkut dengan hukum taklifi 
Menurut Jumhur ulamak, ia terbahagi kepada 5:

 
1. Wajib: "Tiada sembahyang bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab." (HR Bukhari & Muslim). Menunjukkan wajib membaca fatihah di dlam sembahyang. 
2. Mandub (sunnah) : Azan, iqamah dsbnya. 
3. Haram- "Barangsiapa yang melaknat orang mukmin seperti membunuhnya." (HR Bukhari & Muslim) 
4. Makruh - Sesungguhnya Allah itu memakruhkan memperkatakan itu dan ini, banyak soal dan membazir-bazirkan harta (Bukhari dan Muslim). 
5. Ja'iz (harus) - "Ubahlah warna rambut ini dengan sesuatu, jauhilah warna hitam' (HR Nasa'I & Abu Daud). Sebahagian ulamak menganggapnya sebagai perintah harus sahaja bukan sunnah.

2) Yang berhubungkait dengan hukum wadh'I 
Iaitu sunah yang menjadikan sesuatu itu sebagai sebab, penghalang, syarat, sah, fasid, azimah dan rukhsah. 
Contoh sunnah yang menjadi mani' (penghalang) kepada pembunuh menerima warisan seperti sabdanya: "Tiada bagi pembunuh itu warisan." (HR Malik, Ahmad & Ibnu Majah) 
Orang yang membunuh bapanya dihalang dari mendapat warisan darinya.

-------------------- 
Soal: Misalannya dari masuk ketandas hingga memerintah negara. Kalau sekiranya masuk ke tandas pun kita tak ikut apakah kita tergolong dalam golongan yang masuk neraka?


Jawab: Berdasarkan pembahagian di atas, dapat dilihat bahawa jika kita meninggalkan yang: 
* Wajib,  maka kita akan berdosa 
* Mandub, seperti adab masuk tandas, kita tidak berdosa. 
* Makruh, kita akan mendapat pahala. 
* Haram, kita akan mendapat pahala. 
* Harus/ja'iz, tidak berdosa dan berpahala samada buat atau tinggal.


Lebih dahsyat sekali ialah menolak Sunnah sebagai salah satu dari sumber hukum. Inilah yang paling dilaknat oleh Rasulullah s.a.w.

SOAL: apakah semua sunnah yang diajarkan yaitu dari yang kecil sehingga sebesar2nya kita kena ikut?

JAWAB: Yang wajib, wajib diikut. Yang mandub, lebih baik diikut. Yang makruh, lebih baik ditinggalkan. Yang haram wajib ditinggalkan. Yang ja'iz, boleh buat dan boleh ditinggalkan.
Kesimpulan: 
----------- 
Jadikanlah sunnah sebagai salah satu dari sumber hukum.

Sekian, wallahu a'lam.
Rujukan: 
-------- 

Muhamad Abu Zahrah, Usul al-Feqh 
Abdul Wahab Khalaf, Usul al-Feqh 
Dr. Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Feqh al-Islami, vol 1 
 

Thursday 13 December 2012

Ust Esa Deraman - Kenapa Tabligh di India tidak berpolitik?




PEMBETULAN PADA MINIT 2:59-KESILAPAN MENYEBUT NAMA ULAMA ZAKARIA AL-ANSORI.SEBENARNYA MAULANA ZAKARIA KANDAHLAWI.

Sunday 9 December 2012

ALLAH,MALAIKAT,ADAM DAN DEMOKRASI


Firman Allah mafhumNya;
Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang Khalifah. Berkata mereka (Malaikat) : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (Al-Baqarah : 30)






Dan telah diajarkanNya kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian Dia kemukakan semua kepada Malaikat, lalu Dia berkata : beritakanlah kepadaKu nama-nama itu semua, jika adalah kamu makhluk-makhluk yang benar. (Al-Baqarah : 31)
Mereka menjawab : Maha Suci Engkau! Tidak ada pengetahuan bagi kami kecuali yang Engkau ajarkan kepada kami. Karena sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Tahu, lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah : 32)
Berkata Dia : Wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu semuanya! Maka tatkala telah diberitahukannya kepada mereka nama-nama itu semua, berfirmanlah Dia : bukankah telah Aku katakan kepada kamu, bahawa sesungguhnya Aku lebih mengetahui rahsia semua langit dan bumi, dan lebih aku ketahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan. (Al-Baqarah : 33)

Potongan ayat di atas menceritakan tentang suatu peristiwa besar yang telah berlaku di mana sekiranya peristiwa ini tidak terjadi maka tiadalah kita pada hari ini. Satu peristiwa yang menjadi sejarah dunia apabila manusia diciptakan dan ditugaskan menjadi pemimpin di muka bumi. Maka bermulalah sejarah ketamadunan ilmu apabila Adam diciptakan. Penulis ingin membawa pembaca berfikir tentang falsafah kepada peristiwa yang dirakamkan dalam al-Quran melalui kaedah dialog. Dialog ini memberikan nilai yang tersendiri apabila berlaku soal jawab antara Allah, Malaikat, dan Adam. Allah sebagai Khaliq, Malaikat dan Adam adalah sebagai makhluk ciptaan Allah.

Dalam Tafsir Fi Zilalil Quran karangan Syed Qutb mengatakan ayat ini adalah berkaitan pentadbiran. Pentadbiran adalah sesuatu sistem yang besar dimana merangkumi politik. Maka kita lihat apabila wujudnya Adam maka secara tidak langsung bermulalah sistem politik di dunia ini kerana Adam dicipta untuk menjadi pemimpin kepada sekalian makhluk. Untuk menjadi pemimpin dan memimpin perlu ada ilmu politik. Bagaimana mungkin manusia mampu mentadbir alam sekiranya tidak punyai ilmu politik. Mengatur, mengurus dan memastikan alam berada dalam keadaan yang baik iaitu tugas Bani Adam memberikan gambaran manusia perlu berfikir bagaimana untuk melakukannya. Justeru, itulah hikmah ilmu politik dipelajari.

Dalam Tafsir Al-Azhar karangan Prof. Dr. Hamka pula ada menerangkan sedikit berkaitan penerimaan beberapa ulama di manakah dialog ini diperkatakan. Terdapat dua golongan iaitu Salaf dan Khalaf. Secara mudahnya kita memahami Salaf adalah golongan yang hidup pada zaman Rasulullah dan sahabat, tabi’in (anak murid sahabat) dan tabi’ tabiin (anak murid tabi’in). Manakala Khalaf adalah golongan yang hidup selepas daripada ketiga-tiga zaman yang disebutkan tadi.

Salaf menerima ayat ini dengan tidak bertanya-tanya mahupun bersoal kerana beranggapan Allah telah berkenan untuk menceritakan perkara ghaib kepada kita tetapi dengan kemampuan fikiran manusia tetapi tidaklah pula kita mampu untuk masuk ke dalam yang ghaib itu. Berbeza pula dengan penerimaan Khalaf, mereka menggunakan kaedah mantik atau logik akal manusia untuk membuat pentafsiran tetapi dalam lingkungan bilik luas yang mempunyai dinding dan bumbung. Maka tidaklah mereka dibasahi hujan dan badai dalam membuat pentafsiran melainkan yang dibenarkan syariat.

Diperhalusi dialog antara Allah dengan Malaikat ini dapatilah kita sebenarnya lebih dekatlah pendekatan Khalaf kerana Allah sendiri menunjukkan bukti kepada Malaikat tentang sebab tindakan-Nya. Maka ketahuilah kita sebenarnya manusia sememangnya memerlukan mantik dalam menerima sesuatu peristiwa yang berlaku di sekeliling mereka. Tetapi sebenarnya Allah mahu juga menguji keimanan hamba-Nya, maka dibuatkan peristiwa yang bertentangan dengan hukum mantik atau logik akal manusia.

Diberitakan juga dalam Al-Quran berkaitan peristiwa Ibrahim dibakar dalam rumpunan kayu api yang marak tetapi baginda tidak tercedera sedikitpun. Waras akal api pastilah membakar dan air pastilah membasah. Juga peristiwa Mariam mengandung dan melahirkan Isa tanpa seorang lelaki melakukan persetubuhan dengannya. Sainstis hari ini tidak mahu menerima peristiwa tersebut kerana sperma perlu bergabung dengan ovum di tiub fallopio dan barulah boleh terciptanya kandungan. Dijawab oleh Al-Ghazali di sinilah peranan iman dimainkan apabila bertindak menerima perkara ghaib yang diceritakan Allah.
Sebab itu seorang seorang ahli falsafah moden; Emmanuel Kant berkata, “Betapapun kemajuan saya dalam berfikir, namun saya tetap mengosongkan sesudut dari jiwa buat saya percaya.” Maklumlah kita sebenarnya mantik dan iman itu sepatutnya bergerak seiring supaya tidak pula layang-layang terputus talinya kerana layang-layang itu ibarat mantik manakala tali ibarat iman yang memandunya. Jika terputus tali itu maka jatuhlah layang-layang dan jika tidak bertali tidaklah pula ianya mampu terbang. 

Perlulah kita percaya bahawa manusia yang diagungkan bisa juga melakukan kesilapan, maka perlu juga dikosongkan sedikit jiwa agar kita tidak membabi-buta menyokong yang salah.
Berbalik kepada dialog, Malaikat dikhabarkan oleh Allah ingin mencipta sejenis makhluk yang menjadi khalifah di muka bumi. Kemudian Malaikat bertanya kepada Allah mengapa ingin mencipta makhluk yang akan merusakkan bumi sedangkan bumi ini sudah aman dan Malaikat pula sentiasa bertasbih dan memuji-Nya. Dalam dialog ini ada satu perkara yang jarang kita bahaskan iaitu demokrasinya Allah. Malaikat telah mempersoalkan tindakan yang akan Allah lakukan tetapi tidak pula Allah memarahi Malaikat melainkan menjawabnya dengan mantik.

Dalam Tafsir Al Maraghiy karangan Ahmad Musthafa al-Maraghi, beliau mengatakan Allah bersabar dengan pertanyaan Malaikat. Di sini kita melihat Allah memberikan ruang kepada Malaikat untuk mengajukan soalan dan mengkritik tindakan-Nya. Hari ini kita melihat rakyat tidak boleh mempersoalkan tindakan kerajaan kerana apabila mempersoalkan akan dianggap penentang kepada kerajaan dan tidak bersyukur. Sedangkan rakyat berhak bertanya demi kepentingan mereka. Begitu juga segelintir pensyarah yang dipersoalkan tindakan mereka oleh pelajarnya maka diberikan markah yang rendah. Sungguh tidak demokratik!

Allah juga sebenarnya mengajar kepada kita supaya lebih berfikiran kritikal iaitu dengan mempersoalkan sesuatu tindakan sekiranya ia tampak tidak berfaedah. Sekiranya sesuatu perkara itu tidak mendatangkan manfaat kepada manusia maka ianya tidak perlu dilaksanakan. Rakyat perlu diberikan ruang untuk mengkritik dan mempersoal setiap tindakan kerajaan supaya rakyat lebih kritikal dan mampu memberikan faedah kepada negara. Bukan ditangkap dan didakwa sedangkan mereka yang merasuah dan menipu dibiarkan terbahak. Tujuan manusia dicipta di bumi adalah untuk menjadi pemimpin kepada umat manusia bukan menjadi perosak seperti yang dikatakan oleh Malaikat.

Di dalam dialog ini juga diajarkan kepada Adam tentang nama-nama kesemuanya yang dianggap mantik manusia. Kemudian ditunjukkan kepada Malaikat tentang nama-nama kesemuanya dan ditanyakan akan namanya. Malaikat tidak mampu menjawab dan berkata Allah-lah yang lebih mengetahui. Di sini kita melihat Adam mempunyai kelebihan dan Malaikat merendahkan diri dengan mengakui kekurangan dirinya. Apabila Allah memerintahkan Adam mengkhabarkan nama-nama itu maka barulah Malaikat ketahui akan kelebihan makhluk yang ingin diciptakan oleh Allah yang dikatakannya perosak bumi.

Ketika ini tahulah kita bahawasanya manusia dan Malaikat mengetahui sesuatu ilmu atau perkara atas kehendak Allah. Pasti ada kekurangan ilmu dalam kalangan manusia mahupun Malaikat. Kita lihat bagaimana rendah diri Malaikat menerima ilmu Adam kerana Malaikat tidak mempunyai ilmu pengetahuan tentang nama-nama itu dan tidak pula sombong tidak mahu mempelajarinya. Segelintir jemaah yang 'sombong' berkata kita tidak memerlukan orang luar untuk memberikan tarbiyah kerana kita mempunyai manhaj tarbiyah yang tersendiri. Ini sangat bertentangan kerana Malaikat mengakui dan belajar daripada Adam. Kita pula yang lebih sombong!
Kesimpulannya kita perlu membuat semakan terhadap diri sendiri adakah kita ini orang yang demokratik kerana Allah tidak memarahami Malaikat apabila Malaikat mengkritik tindakan Allah bahkan Allah menggunakan kaedah mantik dengan menunjukkan nama-nama kepada Malaikat dan ditanyakan namanya. Apabila Malaikat tidak mampu menjawab diperintahkan Adam untuk mengkhabarkan nama-nama itu. Maka barulah Malaikat percaya bahawasanya mahkluk diciptakan Allah ini mempunyai kelebihan. Malaikat mengakui kelemahan dan belajar daripada Adam, jadi adakah kita mahu mengakui kelemahan kita dan menerima kritikan dan mempelajari daripada orang lain? Adakah kita masih sombong dengan ilmu yang ada pada kita semata-mata? Jika kita masih begitu maka ingatlah Allah sudah demokratik!

Wednesday 5 December 2012

Siri Tazkirah: Tn Guru Nik Abdul Aziz Nik Mat


PERBEZAAN ZIKIR ANTARA ULAMA DAN ABID(AHLI IBADAH)

Sidang pembaca yang dirahmati Allah 
Sekiranya ada yang bertanya, apakah dalil bahawa orang alim memadai dengan mentelaah kitab, bukannya wind seperti si abid? Jawapannya ialah di sana terdapat nas Al Quran dan Hadis Nabi SAW yang menjelaskan perkara tersebut, yang menyatatkan fadilat belajar dan pelbagai fadilat mengajar. Orang alim, tok-tok guru memadailah dengan mengajar orang ramai, tidak perlu habiskan masanya berwirid dan berzikir. Ini kerana masa yang berharga diperlukan untuk mentelaah kitab dan ulang kajinya, sebagai sumber ilmu yang diperlukan untuk persediaan mengajar orang ramai.
Apa yang tidak kenanya apabila dikatakan begitu, kerana apabila seseorang itu mengaji dan mengajar semua itu ada kesinambungan terhadap zikir (ingat) kepada Allah Taala. Seseorang yang berkuliyah atau mengajar agama Islam atau membaca kitab-kitab, ia tidak sunyi daripada menyebut firman Tuhan dan Hadis Nabi SAW. Bukankah itu bererti ingat (zikir) kepada Allah, ditambah lagi peluang mengajar orang yang tidak berkesempatan mengaji semasa mudanya.
Justeru itu ahli siasah berlandaskan akidah Islam mengulas sesuatu isu atau perundangan, ulasan pasti berdasarkan firman Allah SWT dan hadis Nabi SAW. Orang ramai yang mengikuti majlis tersebut boleh turut mengingati dalil dan sabda Nabi SAW meskipun isunya berbeza, tetapi hujah dan dalilnya tetap bersumberkan Al Quran dan hadis Nabi SAW. Ini bererti ingat (zikir) kepada Allah SWT.
Telah dinyatakan bahawa wirid bagi orang alim ialah mentelaah kitab dan ulang kajinya dengan mendalam, dalil dan hujahnya telah dinyatakan dalam "Kitab al Ilmi" telah dinyatakan dalil dan nasnya. Sekiranya tidak pada hujahnya maka bukalah sendiri Al Quran dan Hadis Nabi SAW nescaya akan berjumpa ayat-ayat serta sabda Nabi SAW supaya seseorang itu belajar dan mengajar.
Sebagaimana sabda Nabi SAW yang bermaksud: "Sebaik-baik di kalangan umatku ialah orang yang mengaji (mengkaji al-Quran) dan mengajarnya".
Bukan sekadar baca tanpa memahami isi kandungannya. Yang penting bagaimana hendak melaksanakan segala maksud yang termuat di dalamnya. Ini kerana dengan mengaji (mengkaji) dan mengajar, boleh memberi manfaat kepada makhluk dan boleh pimpin manusia menuju akhirat.
Jika untuk pimpin manusia sekadar di dunia, iaitu bagaimana cara hendak kaya dan mewah serta hidup sihat dan senang lenang. Sekadar itu tidak perlu wahyu dari langit, kerana segala sumber kekayaan telah disediakan oleh Allah SWT. Otak minda manusia yang Tuhan kurniakan cukup mampu memikirkan bagaimana mengatasi persoalan tersebut.
Manakala wahyu yang datang dari langit adalah bagi menjelaskan bahawa dengan ketiadaannya, mustahil manusia boleh sampai ke akhirat dengan selamat.
Jika sekadar dengan kekayaan duniawi atau kuasa pengaruh yang dimiliki, manusia pasti terjebak dengan bahaya yang menanti di akhirat. Adapun orang awam dan orang masih di peringkat pelajar, hadir ke majlis ilmu dan majlis peringatan (al-wa'dzi) adalah lebih afdal daripada memenuhkan waktu dengan berwirid.
Kerana ilmu yang menjadi zat makanan penting bagi roh, mesti diramu daripada pelbagai jenis ilmu bermula dari akidah, fiqh, sejarah, tasauf, kesihatan, ekonomi dan pelbagai lagi yang turun dari langit untuk keperluan hidup manusia jasmani dan rohani. Pelbagai ilmu ibarat kepelbagaian zat yang terkandung dalam makanan seimbang untuk kesihatan hidup manusia.
Demikian juga ibarat golongan pekerja yang sentiasa bergerak mencari pendapatan rezeki halal, untuk menanggung keluarga anak-anak dan isteri serta ayah dan ibu yang menjadi tanggungannya. Semestinya lebih baik bergerak buat kerja ekonomi daripada berwirid?
Bagi golongan ini tidak boleh menyempitkan kehidupan keluarganya, sedangkan masanya dihabiskan dengan berwirid.
Selagi mata hari tidak naik segalah dia tidak pergi bekerja, sedangkan begitu banyak kerja-kerja yang boleh dilakukan sementara menunggu mata hari naik segalah itu.
Bahkan wirid yang sebenarnya bagi golongan itu, ialah pergi ke pasar jual barang berniaga mencari rezeki yang halal atau bekerja dengan suatu perusahaan. Pekerjaan menjana rezeki yang halal itulah sebenarnya wirid yang mesti dilakukan, bagi menjamin kelangsungan ahli keluarga di bawah tanggungannya.
Dalam masa bekerja apa sahaja pekerjaan yang halal itu, ketika yang sama jangan lupa ingat kepada Allah SWTterutama tentang halal tidaknya pekerjaan yang dilakukan.
Ingat Tuhan bukan sekadar bibir dan lidah menyebut; Allah, Allah atau Subhanalah, Astaghfirullah dan Iain-lain lagi, tetapi ingat para malaikat-Nya yang mencatat dosa pahala daripada pekerjaan yang dilakukan berlandaskan syariat-Nya. Itulah ingat (zikir) sebenarnya.
Ingat kepada hukum-hakamNya terutamanya berkait dengan pekerjaan yang sedang dilakukan, juga bererti ingat kepada Allah. Jika berniaga, pelanggan terlebih beri wang lalu didiamkan saja tanpa usaha kembalikan semula, bererti dia tidak ingat kepada hukum Allah SWT yang melarang perbuatan mengambil kepunyaan orang dengan jalan yang batil. - Tuan Guru Nik Aziz

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...