Sunday 30 December 2012

Polimik: Kerja Nabi VS Waris Nabi


Sabda Rasulullah s.a.w.

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسّكتُمْ ِبهِمَا كتابُ الله وَسنَّةُ رسُوْلِهِ

Maksudnya: “ Aku tinggalkan kepada kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat buat selama-lamanya sekiranya kamu berpegang teguh dengan kedua-dua perkara tersebut, iaitu Kitabullah (Al Quran) dan sunnah RasulNya (Al Hadith)

dan

Sabda Rasulullah s.a.w
.
"Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan permudahkannya untuk masuk syurga. Para malaikat akan mengepakkan sayapnya keatas pencari ilmu, kerana mereka suka dengan apa yang dilakukannya. Orang yang berilmu dimintakan ampun oleh semua yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan-ikan di air juga turut memohon ampun untuknya. Keutamaan orang yang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan di atas bintang. Para ulama adalah pewaris nabi dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Sehingga orang yang mengambilnya benar-benar telah mengambil bahagian yang sempurna"
(HR Imam Bukhari)

Sidang pembaca yang dirahmati Allah

Kita sebagai umat islam biasa mendengar atau membaca dua teks hadith di atas samada dibaca melalui buku,kitab dan internet atau kita mempelajari hadith secara bertalaqqi dengan alim ulama,ustaz dan seumpamanya.

Secara umumnya hadith tersebut menceritakan kelebihan ilmu dan orang yang menuntut ilmu.Contohnya hadith pertama membawa maksud al quran dan sunnah itu mewakili ajaran Rasullah saw atau sebagai ganti batang tubuh utusan Allah yang terakhir untuk umat sehingga hari kiamat.Manakala hadith kedua pula berkenaan  manusia yang mewarisi ilmu para nabi yang di sebut ulama.Mereka inilah yang diberi keistimewaan oleh Allah menjadi pewaris (ilmu) para nabi dan rasul.

Ilmu yang dimaksudkan ialah menguasai khazanah yang terkandung dalam al quran dan al hadith.Tetapi mutakhir ini muncul pula ungkapan baru yang berbunyi " dakwah ikut cara nabi" atau " kita buat usaha nabi@kerja nabi".

Sekali imbas ungkapan ini agak pelik bunyinya.Kita agak hairan juga darimana asalnya ungkapan ini kerana tidak ada hadith atau ayat al quran yang perintah kita " DAKWAHLAH KAMU SEBAGAIMANA KAMU MELIHAT AKU BERDAKWAH" atau " KAMU TIDAK AKAN SESAT SELAMANYA SELAGI KAMU BUAT KERJA NABI" dan lain-lain.

Apa yang sahih datang dari Nabi saw ialah kewajipan menuntut ilmu dan mengamalkannya serta menyebarkannya kepada orang lain.Buktinya banyak hadith sahih perintah wajib menuntut ilmu dan riwayat di bawah:




Pernah suatu hari Abu Hurairah berjalan melewati pasar Madinah. Beliau kemudian berhenti dan berkata, “Hai orang-orang di pasar, betapa malangnya kalian ini!” Mereka bertanya, “Mengapa demikian, wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab, “Itu warisan Rasulullah sedang dibahagi-bahagikan, sementara kalian tetap disini. Mengapa kalian tidak pergi kesana dan mengambil bagian kalian?” Mereka bertanya, “Dimana?” Beliau menjawab, “Di masjid.” Maka, mereka pun bergegas-gegas keluar menuju masjid. Abu Hurairah sendiri diam di tempatnya, sampai akhirnya mereka kembali lagi. Beliau bertanya, “Mengapa (kalian kembali)?” Mereka menjawab, “Hai Abu Hurairah, kami telah mendatangi masjid dan masuk ke dalamnya. Tapi, kami tidak melihat apapun yang sedang dibahagikan.” Beliau bertanya, “Apa kalian tidak melihat seorang pun disana?” Mereka menjawab, “Ya, benar. Kami melihat sekelompok orang sedang mengerjakan shalat, sekelompok yang lain sedang membaca Al-Qur’an, dan sekelompok lagi sedang mempelajari halal-haram.” Abu Hurairah berkata, “Celaka kalian ini! Itulah warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam!.”
(Riwayat Thabrani dalam al-Awsath, dengan isnad hasan).

Benar, para Nabi tidak mewariskan emas, tanah, rumah, atau barang-barang duniawi untuk dibahagi, dilelong dan diperebutkan. Mereka mewariskan ilmu, keyakinan, dan bimbingan. Oleh karenanya, Rasulullah bersabda, “Sungguh, ulama’ adalah pewaris para Nabi. Sungguh, para Nabi tidaklah mewariskan dinar (emas) maupun dirham (perak), namun mereka hanyalah mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, sungguh ia telah mengambil bagian yang sangat banyak.”
(Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Abu Darda’. Hadits shahih).

Keinginan kuat untuk mendapatkan bagian dari “warisan kenabian” inilah yang mendorong para ulama di masa silam mengembara ke seluruh penjuru untuk mengambil hadits. Dalam keadaan prasarana Abad Pertengahan yang masih serba manual, mereka menempuh jarak ribuan kilometer untuk menemui para guru yang  terkadang hanya menyimpan satu dua teks hadith saja. Mereka tidak perduli, sebab “warisan kenabian” itu tidak boleh terlewatkan satu pun. Dengan tangannya pula mereka mencatat sendiri ratusan ribu bahkan, hampir mencapai sejuta  teks hadits yang berlain-lainan.

Ahmad bin Mani’ bercerita: Ahmad bin Hanbal berjumpa dengan kami di jalan, dan beliau baru datang dari Kufah sementara di tangannya ada sejumlah kertas yang berisi salinan kitab-kitab. Saya pun meraih tangannya dan berkata, “Sekali waktu ke Kufah, lalu di lain waktu ke Bashrah, sampai bila? Bila seseorang telah mencatat 30.000 hadits, apa tidak cukup?” Beliau diam. “Apakah 60.000 tidak cukup?” Beliau tetap diam. “Apakah 100.000 tidak cukup?” Beliau menjawab, “Saat itulah dia baru mengerti ‘sesuatu’!” (Dari: al-Madkhal ila Madzhabi al-Imam Ahmad bin Hanbal, karya Ibnu Badran ad-Dimasyqi).
Apakah Anda dapat membayangkan kesungguhan dan tekad macam apa yang berkobar di balik kata-kata: “mencatat seratus ribu hadits dengan tangan sendiri”? Kita mungkin bisa memperlekehkan hal itu di masa sekarang, sebab pencarian dengan komputer sudah sangat menyenangkan. Bahkan, sebagian orang diketahui meng-copy paste karya orang lain, mengganti judulnya, lalu mengatasnamakannya untuk diri sendiri. Namun, di zaman Imam Ahmad semua harus ditulis tangan.
 ‘Amru bin ‘Ashim al-Kilabi berkata, “Saya mencatat belasan ribu hadits dari Hammad bin Salamah.”
‘Abbas ad-Dury berkata, “Saya mencatat 35.000 hadits dari Musa bin Isma’il at-Tabudzaki.”
Abu Dawud berkata, “Saya mencatat 50.000 hadits dari Bundar Muhammad bin Basysyar.”
Abu Zur’ah berkata, “Saya telah mencatat 100.000 hadits dari Ibrahim bin Musa ar-Razy.”
Abul ‘Abbas asy-Syirazi berkata, “Saya telah mencatat 300.000 hadits dari ath-Thabrani.”

Pengakuan semacam ini sangat banyak, dan itu baru dari satu orang guru saja. Bagaimana jika mereka telah mencatat dari ratusan hingga ribuan guru? Ya’qub al-Fasawi dan Abu Dawud berkata, “Saya telah mencatat dari 1.000 orang guru.” Abdullah bin al-Mubarak berkata, “Saya telah mencatat dari 1.100 orang guru…”

Mereka pun memburu “warisan kenabian” dalam rentang yang panjang, hingga belasan tahun. Ahmad bin Salamah, teman karib Imam Muslim, mengaku, “Saya mencatat hadits bersama Muslim – dalam rangka menyusun kitab Shahih-nya – sebanyak 12.000 hadits selama limabelas tahun.” Dalam hal ini, Imam Muslim sendiri berkata, “Saya menyusun kitab Shahih saya ini dari (penyaringan terhadap) 300.000 hadits yang seluruhnya saya dengar langsung (dari guru-guru saya).”

Generasi muslim pendahulu kita tahu benar-benar memahami nilai “warisan kenabian” itu, dan rela membelanjakan seluruh HARTA DAN JIWA miliknya untuk mendapatkannya. Wajar jika mereka mendapat kejayaan dan amal jariyahnya abadi sepanjang zaman. Nama sebagian ahli hadits pernah disebut-sebut di majlis khalifah Harun ar-Rasyid, maka beliau berkata, “Mereka adalah kaum yang abadi, nama mereka akan disebut beriringan dengan nama Rasulullah; sementara kami – para raja – adalah orang-orang yang akan musnah kenangannya.”



By M. Alimin Mukhtar,

kesimpulan:

Berhati-hatilah dengan perkara baru (istilah baru) yang tidak diketahui sumber asalnya secara sahih kerana bimbang ia termasuk dalam bid'ah dholalah yang sesat. Wallahu'alam

Friday 28 December 2012

Benarkah Jesus Christ (Nabi Isa a.s) TIDAK Disalib/Dibunuh ? - Dr ...


Dalam keadaan pengikut tabligh yang taksub dengan arahan maulana dan eldest mereka di India yang melarang berdakwah kepada Non muslim,muncul seorang tokoh pemikir islam yang di beri gelaran "AHMAD DEEDAT KE 2" yang berasal dari India juga berjaya menyanggah 'mitos pelik' syura tabligh dunia itu melalui rakaman video di atas.

Friday 21 December 2012

Para Rasul sebagai pembangkang atau kerajaan?


 Inilah cincin kepunyaan Rasulullah SAW yang juga pernah dijadikan cop mohor kerajaan Islam Madinah.

Sidang pembaca yang di rahmati Allah

Realiti para rasul yang diceritakan oleh al-Quran dan Sunnah Rasulullah s.a.w. adalah pemimpin-peminpin utama negara yang memimpin politik umat manusia di zamannya. Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud:

“Nabi-nabi adalah pemimpin-pemimpin politik bani Israel.” 

– Hadis riwayat Al-Bukhari & Muslim

Yang dalam kerajaan

Nabi Sulaiman a.s. (PM Palestin)
Nabi Daud a.s (PM Palestin) 
Nabi Musa a.s selepas menjatuhkan Firaun di Mesir, 
nabi-nabi yang lebih dahulu termasuk Nabi Adam a.s, Nabi Nuh a.s,  
Nabi Yusuf a.s. dan lain-lain.

Tuntasnya, rasul-rasul yang diceritakan secara terperinci oleh Al-Quran karim adalah pemimpin-pemimpin politik umat di zamannya, dan bukan menjadi penasihat suci sebagaimana peranan pendeta agama dalam gambaran-gambaran sejarah Barat.

Pemimpin-pemimpin politik bermaksud, mereka secara langsung menjadi pencorak kepada kepimpinan negara dan mempunyai kuasa menentukan, bukan sebagaimana penasihat yang hanya berkuasa menasihati tanpa kuasa pemutus.

Jika nabi-nabi tidak boleh berbuat demikian, atau tidak dihalang berbuat demikian, mereka akan menjadi pemimpin pembangkang sebagaimana Nabi Ibrahim, Yahya, Zakaria, Nabi Isa a.s dan lain-lain. Firman Allah yang bermaksud:

“Adalah bagi kamu pada diri Rasulullah s.a.w. itu contoh yang terbaik.” 

– Hadis riwayat Al-Bukhari & Muslim.

Antara teladan yang terpenting ialah, Rasulullah s.a.w. bukan sahaja ketua ibadat seperti imam solat, tetapi Rasulullah s.a.w. adalah ketua politik sama ada sebelum hijrah ketika menentang pemerintahan Quraisy di Makkah dan selepas Hijrah ketika menjadi ketua negara menerajui negara Madinah.

Rasulullah s.a.w. dan para rasul terdahulu bukan menjadi penasihat politik, mereka adalah pemimpin politik dalam erti kata pemutus pada hala tuju organisasi islam, menentukan mana yang boleh mana yang tidak boleh dan mereka bukannya menjadi penasihat yang bersifat pemberitahu tetapi tidak mempunyai kuasa dan autoriti menyuruh dan melarang.

Selepas wafatnya Rasulullah s.a.w., maka tiada lagi nabi selepasnya. Maka yang menjadi galang ganti kepada tugasan baginda s.a.w. sebagai pemimpin politik atau pemimpin organisasi umat islam ialah golongan ulama. Oleh itu yang memegang teraju pemerintahan di zaman selepas Rasulullah s.a.w. ialah di kalangan fuqaha sahabat iaitu sahabat nabi yang memahami hukum hakam yang dibawa oleh nabi s.a.w..

Sememangnya sahabat khulafak ar-Rasyidin berdampingan dengan nabi SAW dalam tempoh yang lama seperti Saidina Abu Bakar yang merupakan khalifah pertama, tetapi perlantikan mereka sebagai khalifah selepas itu bukan atas dasar tersebut, tetapi atas dasar keulamakannya atau keilmuannya tentang hasil daripada perdsampingan mereka dengan Nabi Muhammad SAW. Kepentingan ilmu agama dalam memenuhi prasyarat menjadi pemimpin organisasi Islam jelas tergambar melalui kata-kata Saidina Umar Al-Khattab yang bermaksud

“Dalamilah ilmu agama sebelum kamu dilantik menjadi pemimpin”

Disamping faktor yang boleh membentuk keperibadian yang baik, faktor yang lebih utama daripada itu ialah faktor memastikan hala tuju negara Islam dan gerakan islam di kedudukan selari dengan kehendak wahyu Ilahi. Bagi mencapai tujuan tersebut, kefahaman mereka terhadap maksud dan kehendak wahyu menjadikan mereka golongan berkelayakan memegang tampuk tersebut.

sumber : http://dppwp.wordpress.com/2009/06/08/ucaptama-ketua-dewan-ulama-pas-pusat-2009/

Sunday 16 December 2012

Kekeliruan Orang Tabligh Tentang Makna "Ikut Sunnah Nabi"



Sidang pembaca yang di rahmati Allah

Entri kali ini adalah berkaitan takrif sunnah yang sebenar bagi membetulkan salah faham khususnya golongan tabligh yang merasakan hanya mereka sahaja yang ikut sunnah sedang jemaah lain jauh dari sunnah.

Oleh itu kami merasakan pencerahan ini penting supaya tidak ada lagi cemuhan dan tuduhan melulu orang tabligh kepada para ustaz yang mengajar ilmu islam dengan tuduhan 'tak ikut sunnah' dan lain-lain hanya kerana tak berjanggut,berserban,bersugi seperti mereka.


From: "Tengku Amal Fuad" <amal@shinmsb.po.my>  Save Address Block Sender 
To: soalfikah@hotmail.com 
Subject: Sunnah Rasullullah

Nabi Muhammad ada mengatakan akhir zaman umat islam ini akan terpecah kepada 73 golongan.  Semua masuk neraka kecuali satu.  Lalu bertanya sahabat, bagaimana jika dia berada dalam zaman tersebut, lalu nabi Muhammad mengatakan," gigit Al Quran dan sunnahku kuat2 insyaallah kamu akan selamat".

Soalan saya ialah;- 

Yang dimaksudkan sunnahku itu apakah semua sunnah yang diajarkan yaitu dari yang kecil sehingga sebesar2nya kita kena ikut? Misalannya dari masuk ketandas hingga memerintah negara. Kalau sekiranya masuk ke tandas pun kita tak ikut apakah kita tergolong dalam golongan yang masuk neraka?


Jawapan
Alhamdulillah inilah jawapannya:
Ini adalah termasuk di bawah pembahasan ilmu Usul Feqh. Terimakasih atas soalan yang baik ini.
------------------- 
Sunnah di sini bukanlah bermaksud mandub, iaitu diberi pahala kepada pelakunya dan tidak berdosa kepada orang yang tidak mengerjakannya.


Sunnah di sini bermaksud: Sesuatu yang lahir dari Rasulullah s.a.w., samada perkataan, perbuatan dan pengakuan.
Ia adalah hadis nabi s.a.w. yang merangkumi hukum taklifi dan hukum wad'i. Kita lihat apa definasi hukum menurut Usuliyyun: 

"Khitab (firman) Allah Taala yang berhubungkait dengan perbuatan mukallaf, samada yang berbentuk tuntutan atau pilihan atau menjadikan sesuatu itu sebagai sebab, syarat atau penghalang."


Maksud `khitab Allah' di sini ialah samada ia dinisbahkan secara langsung kepada Allah atau melalui perantara seperti Sunnah, ijma', qiyas dan sumber2 hukum lainnya.

Kita ambil sunnah, mengapa ia dimasukkan di bawah kata `khitab Allah'? Kerana pada hakikatnya sunnah/sabda Rasulullah s.a.w. itu kembali kepada Allah Taala. Sekalipun lahirnya dari Rasulullah s.a.w. tetapi ia diperolehi melalui jalan wahyu.

Sunnah yang mengandungi sabdaan, perbuatan dan taqrir/pengakuan dari Rasulullah s.a.w. yang memberi petunjuk Hukum, adalah dari wahyu Allah Taala, bukan dari hawa nafsu baginda.
-------------------- 
Berpegang kepada al-Quran ialah mengambilnya sebagai sumber hukum. Begitu juga apabila dikatakan berpeganglah kepada sunnah Rasulullah s.a.w. bermaksud mengambilnya sebagai sumber hukum.


Kami melihat beberapa kesilapan di dalam pemahaman masalah ini. Apabila dikatakan: Berpeganglah kepada sunnah, mereka memahami bahawa ia adalah mengamalkan sunnah dalam ertikata mandub.

Ini adalah salah…!!!!!!!

Sunnah dalam ertikata mandub adalah sebahagian kecil dari maksud sunnah dalam ertikata ia sebagai salah satu dari sumber hukum Islam.

Sebab itu kita dapat melihat sebahagian dari umat Islam di negara kita bersungguh-sungguh di dalam mengamalkan sunah yg bermaksud mandub dan dalam masa yang sama mereka terlupa untuk memperjuangkannya sebagai salah satu dari sumber hukum Islam.

Mereka berusaha bersungguh-sungguh membetulkan serban, mengemaskan jubah, menggenggam kuat-kuat kayu sugi, makan di dalam talam dsbnya. Sebahagiannya menganggap bahawa itu adalah sunnah yang disyariatkan. Mereka berbuat demikian dengan fahaman itulah sahaja sunnah yang perlu dipertahankan sebagaimana maksud beberapa hadis. Sebahagiannya pula, ada yang mencela rakan-rakannya yang lain kerana makan di atas meja, tidak menggunakan kayu sugi, tidak berjubah dan berserban. Mereka memandangnya dengan sinis dan berkata: "Bagaimana umat Islam boleh berjaya, tidak ikut sunnah!"

Mengamalkan sunnah za'idah seperti berserban, berjubah, bercelak dsbnya tidak salah samasekali. Malah ia menjadi satu kelebihan bagi pengamal berkenaan, lambang kecintaannya kepada Rasulullah s.a.w. serta akan diberi pahala jika niatnya betul. Tetapi yang salah ialah beranggapan bahawa sunnah yang dimaksudkan oleh sabda Rasulullah s.a.w. ialah sunah-sunah yang begitu sahaja, dengan melupakan atau meminggirkannya sebagai salah satu dari sumber hukum.

Pernah guru kami yang dimuliakan al-Marhum Tuan Guru Haji Abdul Wahab bin Saad, diceritakan kepada kami oleh anakandanya Drs Mohd Redzuan, pada suatu ketika Tuan Guru mendengar radio siaran soaljawab agama. Ustaz radio itu ditanya, "Apa itu Sunnah?" Ustaz itu menjawab: "Buat dapat pahala, tinggal tidak berdosa." Mendengar itu, Tuan Guru hanya tersenyum sahaja menandakan kekeliruan ustaz berkenaan. Bukan salah tetapi keliru.

Oleh itu, apabila diajukan tentang sunnah, perlu difahami dahulu sunnah pada kedudukan mana? Pada kedudukannya sebagai sumber hukum (khitab Allah) atau sebagai salah satu dari pembahagian hukum?
------------------------ 
Sunnah nabi sebagai sumber hukum terbahagi kepada dua: 
1) Yang bersangkut dengan hukum taklifi 
Menurut Jumhur ulamak, ia terbahagi kepada 5:

 
1. Wajib: "Tiada sembahyang bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab." (HR Bukhari & Muslim). Menunjukkan wajib membaca fatihah di dlam sembahyang. 
2. Mandub (sunnah) : Azan, iqamah dsbnya. 
3. Haram- "Barangsiapa yang melaknat orang mukmin seperti membunuhnya." (HR Bukhari & Muslim) 
4. Makruh - Sesungguhnya Allah itu memakruhkan memperkatakan itu dan ini, banyak soal dan membazir-bazirkan harta (Bukhari dan Muslim). 
5. Ja'iz (harus) - "Ubahlah warna rambut ini dengan sesuatu, jauhilah warna hitam' (HR Nasa'I & Abu Daud). Sebahagian ulamak menganggapnya sebagai perintah harus sahaja bukan sunnah.

2) Yang berhubungkait dengan hukum wadh'I 
Iaitu sunah yang menjadikan sesuatu itu sebagai sebab, penghalang, syarat, sah, fasid, azimah dan rukhsah. 
Contoh sunnah yang menjadi mani' (penghalang) kepada pembunuh menerima warisan seperti sabdanya: "Tiada bagi pembunuh itu warisan." (HR Malik, Ahmad & Ibnu Majah) 
Orang yang membunuh bapanya dihalang dari mendapat warisan darinya.

-------------------- 
Soal: Misalannya dari masuk ketandas hingga memerintah negara. Kalau sekiranya masuk ke tandas pun kita tak ikut apakah kita tergolong dalam golongan yang masuk neraka?


Jawab: Berdasarkan pembahagian di atas, dapat dilihat bahawa jika kita meninggalkan yang: 
* Wajib,  maka kita akan berdosa 
* Mandub, seperti adab masuk tandas, kita tidak berdosa. 
* Makruh, kita akan mendapat pahala. 
* Haram, kita akan mendapat pahala. 
* Harus/ja'iz, tidak berdosa dan berpahala samada buat atau tinggal.


Lebih dahsyat sekali ialah menolak Sunnah sebagai salah satu dari sumber hukum. Inilah yang paling dilaknat oleh Rasulullah s.a.w.

SOAL: apakah semua sunnah yang diajarkan yaitu dari yang kecil sehingga sebesar2nya kita kena ikut?

JAWAB: Yang wajib, wajib diikut. Yang mandub, lebih baik diikut. Yang makruh, lebih baik ditinggalkan. Yang haram wajib ditinggalkan. Yang ja'iz, boleh buat dan boleh ditinggalkan.
Kesimpulan: 
----------- 
Jadikanlah sunnah sebagai salah satu dari sumber hukum.

Sekian, wallahu a'lam.
Rujukan: 
-------- 

Muhamad Abu Zahrah, Usul al-Feqh 
Abdul Wahab Khalaf, Usul al-Feqh 
Dr. Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Feqh al-Islami, vol 1 
 

Thursday 13 December 2012

Ust Esa Deraman - Kenapa Tabligh di India tidak berpolitik?




PEMBETULAN PADA MINIT 2:59-KESILAPAN MENYEBUT NAMA ULAMA ZAKARIA AL-ANSORI.SEBENARNYA MAULANA ZAKARIA KANDAHLAWI.

Sunday 9 December 2012

ALLAH,MALAIKAT,ADAM DAN DEMOKRASI


Firman Allah mafhumNya;
Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang Khalifah. Berkata mereka (Malaikat) : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (Al-Baqarah : 30)






Dan telah diajarkanNya kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian Dia kemukakan semua kepada Malaikat, lalu Dia berkata : beritakanlah kepadaKu nama-nama itu semua, jika adalah kamu makhluk-makhluk yang benar. (Al-Baqarah : 31)
Mereka menjawab : Maha Suci Engkau! Tidak ada pengetahuan bagi kami kecuali yang Engkau ajarkan kepada kami. Karena sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Tahu, lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah : 32)
Berkata Dia : Wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu semuanya! Maka tatkala telah diberitahukannya kepada mereka nama-nama itu semua, berfirmanlah Dia : bukankah telah Aku katakan kepada kamu, bahawa sesungguhnya Aku lebih mengetahui rahsia semua langit dan bumi, dan lebih aku ketahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan. (Al-Baqarah : 33)

Potongan ayat di atas menceritakan tentang suatu peristiwa besar yang telah berlaku di mana sekiranya peristiwa ini tidak terjadi maka tiadalah kita pada hari ini. Satu peristiwa yang menjadi sejarah dunia apabila manusia diciptakan dan ditugaskan menjadi pemimpin di muka bumi. Maka bermulalah sejarah ketamadunan ilmu apabila Adam diciptakan. Penulis ingin membawa pembaca berfikir tentang falsafah kepada peristiwa yang dirakamkan dalam al-Quran melalui kaedah dialog. Dialog ini memberikan nilai yang tersendiri apabila berlaku soal jawab antara Allah, Malaikat, dan Adam. Allah sebagai Khaliq, Malaikat dan Adam adalah sebagai makhluk ciptaan Allah.

Dalam Tafsir Fi Zilalil Quran karangan Syed Qutb mengatakan ayat ini adalah berkaitan pentadbiran. Pentadbiran adalah sesuatu sistem yang besar dimana merangkumi politik. Maka kita lihat apabila wujudnya Adam maka secara tidak langsung bermulalah sistem politik di dunia ini kerana Adam dicipta untuk menjadi pemimpin kepada sekalian makhluk. Untuk menjadi pemimpin dan memimpin perlu ada ilmu politik. Bagaimana mungkin manusia mampu mentadbir alam sekiranya tidak punyai ilmu politik. Mengatur, mengurus dan memastikan alam berada dalam keadaan yang baik iaitu tugas Bani Adam memberikan gambaran manusia perlu berfikir bagaimana untuk melakukannya. Justeru, itulah hikmah ilmu politik dipelajari.

Dalam Tafsir Al-Azhar karangan Prof. Dr. Hamka pula ada menerangkan sedikit berkaitan penerimaan beberapa ulama di manakah dialog ini diperkatakan. Terdapat dua golongan iaitu Salaf dan Khalaf. Secara mudahnya kita memahami Salaf adalah golongan yang hidup pada zaman Rasulullah dan sahabat, tabi’in (anak murid sahabat) dan tabi’ tabiin (anak murid tabi’in). Manakala Khalaf adalah golongan yang hidup selepas daripada ketiga-tiga zaman yang disebutkan tadi.

Salaf menerima ayat ini dengan tidak bertanya-tanya mahupun bersoal kerana beranggapan Allah telah berkenan untuk menceritakan perkara ghaib kepada kita tetapi dengan kemampuan fikiran manusia tetapi tidaklah pula kita mampu untuk masuk ke dalam yang ghaib itu. Berbeza pula dengan penerimaan Khalaf, mereka menggunakan kaedah mantik atau logik akal manusia untuk membuat pentafsiran tetapi dalam lingkungan bilik luas yang mempunyai dinding dan bumbung. Maka tidaklah mereka dibasahi hujan dan badai dalam membuat pentafsiran melainkan yang dibenarkan syariat.

Diperhalusi dialog antara Allah dengan Malaikat ini dapatilah kita sebenarnya lebih dekatlah pendekatan Khalaf kerana Allah sendiri menunjukkan bukti kepada Malaikat tentang sebab tindakan-Nya. Maka ketahuilah kita sebenarnya manusia sememangnya memerlukan mantik dalam menerima sesuatu peristiwa yang berlaku di sekeliling mereka. Tetapi sebenarnya Allah mahu juga menguji keimanan hamba-Nya, maka dibuatkan peristiwa yang bertentangan dengan hukum mantik atau logik akal manusia.

Diberitakan juga dalam Al-Quran berkaitan peristiwa Ibrahim dibakar dalam rumpunan kayu api yang marak tetapi baginda tidak tercedera sedikitpun. Waras akal api pastilah membakar dan air pastilah membasah. Juga peristiwa Mariam mengandung dan melahirkan Isa tanpa seorang lelaki melakukan persetubuhan dengannya. Sainstis hari ini tidak mahu menerima peristiwa tersebut kerana sperma perlu bergabung dengan ovum di tiub fallopio dan barulah boleh terciptanya kandungan. Dijawab oleh Al-Ghazali di sinilah peranan iman dimainkan apabila bertindak menerima perkara ghaib yang diceritakan Allah.
Sebab itu seorang seorang ahli falsafah moden; Emmanuel Kant berkata, “Betapapun kemajuan saya dalam berfikir, namun saya tetap mengosongkan sesudut dari jiwa buat saya percaya.” Maklumlah kita sebenarnya mantik dan iman itu sepatutnya bergerak seiring supaya tidak pula layang-layang terputus talinya kerana layang-layang itu ibarat mantik manakala tali ibarat iman yang memandunya. Jika terputus tali itu maka jatuhlah layang-layang dan jika tidak bertali tidaklah pula ianya mampu terbang. 

Perlulah kita percaya bahawa manusia yang diagungkan bisa juga melakukan kesilapan, maka perlu juga dikosongkan sedikit jiwa agar kita tidak membabi-buta menyokong yang salah.
Berbalik kepada dialog, Malaikat dikhabarkan oleh Allah ingin mencipta sejenis makhluk yang menjadi khalifah di muka bumi. Kemudian Malaikat bertanya kepada Allah mengapa ingin mencipta makhluk yang akan merusakkan bumi sedangkan bumi ini sudah aman dan Malaikat pula sentiasa bertasbih dan memuji-Nya. Dalam dialog ini ada satu perkara yang jarang kita bahaskan iaitu demokrasinya Allah. Malaikat telah mempersoalkan tindakan yang akan Allah lakukan tetapi tidak pula Allah memarahi Malaikat melainkan menjawabnya dengan mantik.

Dalam Tafsir Al Maraghiy karangan Ahmad Musthafa al-Maraghi, beliau mengatakan Allah bersabar dengan pertanyaan Malaikat. Di sini kita melihat Allah memberikan ruang kepada Malaikat untuk mengajukan soalan dan mengkritik tindakan-Nya. Hari ini kita melihat rakyat tidak boleh mempersoalkan tindakan kerajaan kerana apabila mempersoalkan akan dianggap penentang kepada kerajaan dan tidak bersyukur. Sedangkan rakyat berhak bertanya demi kepentingan mereka. Begitu juga segelintir pensyarah yang dipersoalkan tindakan mereka oleh pelajarnya maka diberikan markah yang rendah. Sungguh tidak demokratik!

Allah juga sebenarnya mengajar kepada kita supaya lebih berfikiran kritikal iaitu dengan mempersoalkan sesuatu tindakan sekiranya ia tampak tidak berfaedah. Sekiranya sesuatu perkara itu tidak mendatangkan manfaat kepada manusia maka ianya tidak perlu dilaksanakan. Rakyat perlu diberikan ruang untuk mengkritik dan mempersoal setiap tindakan kerajaan supaya rakyat lebih kritikal dan mampu memberikan faedah kepada negara. Bukan ditangkap dan didakwa sedangkan mereka yang merasuah dan menipu dibiarkan terbahak. Tujuan manusia dicipta di bumi adalah untuk menjadi pemimpin kepada umat manusia bukan menjadi perosak seperti yang dikatakan oleh Malaikat.

Di dalam dialog ini juga diajarkan kepada Adam tentang nama-nama kesemuanya yang dianggap mantik manusia. Kemudian ditunjukkan kepada Malaikat tentang nama-nama kesemuanya dan ditanyakan akan namanya. Malaikat tidak mampu menjawab dan berkata Allah-lah yang lebih mengetahui. Di sini kita melihat Adam mempunyai kelebihan dan Malaikat merendahkan diri dengan mengakui kekurangan dirinya. Apabila Allah memerintahkan Adam mengkhabarkan nama-nama itu maka barulah Malaikat ketahui akan kelebihan makhluk yang ingin diciptakan oleh Allah yang dikatakannya perosak bumi.

Ketika ini tahulah kita bahawasanya manusia dan Malaikat mengetahui sesuatu ilmu atau perkara atas kehendak Allah. Pasti ada kekurangan ilmu dalam kalangan manusia mahupun Malaikat. Kita lihat bagaimana rendah diri Malaikat menerima ilmu Adam kerana Malaikat tidak mempunyai ilmu pengetahuan tentang nama-nama itu dan tidak pula sombong tidak mahu mempelajarinya. Segelintir jemaah yang 'sombong' berkata kita tidak memerlukan orang luar untuk memberikan tarbiyah kerana kita mempunyai manhaj tarbiyah yang tersendiri. Ini sangat bertentangan kerana Malaikat mengakui dan belajar daripada Adam. Kita pula yang lebih sombong!
Kesimpulannya kita perlu membuat semakan terhadap diri sendiri adakah kita ini orang yang demokratik kerana Allah tidak memarahami Malaikat apabila Malaikat mengkritik tindakan Allah bahkan Allah menggunakan kaedah mantik dengan menunjukkan nama-nama kepada Malaikat dan ditanyakan namanya. Apabila Malaikat tidak mampu menjawab diperintahkan Adam untuk mengkhabarkan nama-nama itu. Maka barulah Malaikat percaya bahawasanya mahkluk diciptakan Allah ini mempunyai kelebihan. Malaikat mengakui kelemahan dan belajar daripada Adam, jadi adakah kita mahu mengakui kelemahan kita dan menerima kritikan dan mempelajari daripada orang lain? Adakah kita masih sombong dengan ilmu yang ada pada kita semata-mata? Jika kita masih begitu maka ingatlah Allah sudah demokratik!

Wednesday 5 December 2012

Siri Tazkirah: Tn Guru Nik Abdul Aziz Nik Mat


PERBEZAAN ZIKIR ANTARA ULAMA DAN ABID(AHLI IBADAH)

Sidang pembaca yang dirahmati Allah 
Sekiranya ada yang bertanya, apakah dalil bahawa orang alim memadai dengan mentelaah kitab, bukannya wind seperti si abid? Jawapannya ialah di sana terdapat nas Al Quran dan Hadis Nabi SAW yang menjelaskan perkara tersebut, yang menyatatkan fadilat belajar dan pelbagai fadilat mengajar. Orang alim, tok-tok guru memadailah dengan mengajar orang ramai, tidak perlu habiskan masanya berwirid dan berzikir. Ini kerana masa yang berharga diperlukan untuk mentelaah kitab dan ulang kajinya, sebagai sumber ilmu yang diperlukan untuk persediaan mengajar orang ramai.
Apa yang tidak kenanya apabila dikatakan begitu, kerana apabila seseorang itu mengaji dan mengajar semua itu ada kesinambungan terhadap zikir (ingat) kepada Allah Taala. Seseorang yang berkuliyah atau mengajar agama Islam atau membaca kitab-kitab, ia tidak sunyi daripada menyebut firman Tuhan dan Hadis Nabi SAW. Bukankah itu bererti ingat (zikir) kepada Allah, ditambah lagi peluang mengajar orang yang tidak berkesempatan mengaji semasa mudanya.
Justeru itu ahli siasah berlandaskan akidah Islam mengulas sesuatu isu atau perundangan, ulasan pasti berdasarkan firman Allah SWT dan hadis Nabi SAW. Orang ramai yang mengikuti majlis tersebut boleh turut mengingati dalil dan sabda Nabi SAW meskipun isunya berbeza, tetapi hujah dan dalilnya tetap bersumberkan Al Quran dan hadis Nabi SAW. Ini bererti ingat (zikir) kepada Allah SWT.
Telah dinyatakan bahawa wirid bagi orang alim ialah mentelaah kitab dan ulang kajinya dengan mendalam, dalil dan hujahnya telah dinyatakan dalam "Kitab al Ilmi" telah dinyatakan dalil dan nasnya. Sekiranya tidak pada hujahnya maka bukalah sendiri Al Quran dan Hadis Nabi SAW nescaya akan berjumpa ayat-ayat serta sabda Nabi SAW supaya seseorang itu belajar dan mengajar.
Sebagaimana sabda Nabi SAW yang bermaksud: "Sebaik-baik di kalangan umatku ialah orang yang mengaji (mengkaji al-Quran) dan mengajarnya".
Bukan sekadar baca tanpa memahami isi kandungannya. Yang penting bagaimana hendak melaksanakan segala maksud yang termuat di dalamnya. Ini kerana dengan mengaji (mengkaji) dan mengajar, boleh memberi manfaat kepada makhluk dan boleh pimpin manusia menuju akhirat.
Jika untuk pimpin manusia sekadar di dunia, iaitu bagaimana cara hendak kaya dan mewah serta hidup sihat dan senang lenang. Sekadar itu tidak perlu wahyu dari langit, kerana segala sumber kekayaan telah disediakan oleh Allah SWT. Otak minda manusia yang Tuhan kurniakan cukup mampu memikirkan bagaimana mengatasi persoalan tersebut.
Manakala wahyu yang datang dari langit adalah bagi menjelaskan bahawa dengan ketiadaannya, mustahil manusia boleh sampai ke akhirat dengan selamat.
Jika sekadar dengan kekayaan duniawi atau kuasa pengaruh yang dimiliki, manusia pasti terjebak dengan bahaya yang menanti di akhirat. Adapun orang awam dan orang masih di peringkat pelajar, hadir ke majlis ilmu dan majlis peringatan (al-wa'dzi) adalah lebih afdal daripada memenuhkan waktu dengan berwirid.
Kerana ilmu yang menjadi zat makanan penting bagi roh, mesti diramu daripada pelbagai jenis ilmu bermula dari akidah, fiqh, sejarah, tasauf, kesihatan, ekonomi dan pelbagai lagi yang turun dari langit untuk keperluan hidup manusia jasmani dan rohani. Pelbagai ilmu ibarat kepelbagaian zat yang terkandung dalam makanan seimbang untuk kesihatan hidup manusia.
Demikian juga ibarat golongan pekerja yang sentiasa bergerak mencari pendapatan rezeki halal, untuk menanggung keluarga anak-anak dan isteri serta ayah dan ibu yang menjadi tanggungannya. Semestinya lebih baik bergerak buat kerja ekonomi daripada berwirid?
Bagi golongan ini tidak boleh menyempitkan kehidupan keluarganya, sedangkan masanya dihabiskan dengan berwirid.
Selagi mata hari tidak naik segalah dia tidak pergi bekerja, sedangkan begitu banyak kerja-kerja yang boleh dilakukan sementara menunggu mata hari naik segalah itu.
Bahkan wirid yang sebenarnya bagi golongan itu, ialah pergi ke pasar jual barang berniaga mencari rezeki yang halal atau bekerja dengan suatu perusahaan. Pekerjaan menjana rezeki yang halal itulah sebenarnya wirid yang mesti dilakukan, bagi menjamin kelangsungan ahli keluarga di bawah tanggungannya.
Dalam masa bekerja apa sahaja pekerjaan yang halal itu, ketika yang sama jangan lupa ingat kepada Allah SWTterutama tentang halal tidaknya pekerjaan yang dilakukan.
Ingat Tuhan bukan sekadar bibir dan lidah menyebut; Allah, Allah atau Subhanalah, Astaghfirullah dan Iain-lain lagi, tetapi ingat para malaikat-Nya yang mencatat dosa pahala daripada pekerjaan yang dilakukan berlandaskan syariat-Nya. Itulah ingat (zikir) sebenarnya.
Ingat kepada hukum-hakamNya terutamanya berkait dengan pekerjaan yang sedang dilakukan, juga bererti ingat kepada Allah. Jika berniaga, pelanggan terlebih beri wang lalu didiamkan saja tanpa usaha kembalikan semula, bererti dia tidak ingat kepada hukum Allah SWT yang melarang perbuatan mengambil kepunyaan orang dengan jalan yang batil. - Tuan Guru Nik Aziz

Thursday 29 November 2012

Hakikat fitnah


Sidang pembaca yang dirahmati Allah

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an Al-Karim, yang bermaksud:"Takutlah kamu kepada fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim diantara kamu secara khusus". (Surah Al-Anfal: 25).

Ayat ini merupakan pokok penjelasan dalam fitnah. Kerana itu Imam Al-Bukhary dalam shahihnya memulakan Kitabul Fitan (kitab Penjelasan fitnah-fitnah) dengan penyebutan ayat ini.Firman Allah Taala: "Takutlah kamu kepada fitnah ..." ini menunjukkan wajibnya atas seorang muslim untuk berhati-hati menghadapi fitnah dan menjauhinya dan tentunya seseorang tidak boleh menjauhi fitnah itu kecuali dengan mengetahui dua perkara:

1) Apa-apa sahaja yang dianggap fitnah di dalam syari'at Islam.
2) Pijakan, cara atau langkah dalam membendung atau menjauhi fitnah tersebut.

Kemudian Ibnu Katsir-rahimahullahu-dalam menafsirkan ayat ini, beliau berkata: "Ayat ini walaupun merupakan perbualan yang ditujukan kepada para sahabat Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam, akan tetapi ayat ini berlaku umum pada setiap muslim kerana Nabi shollallahu' alaihi wa alihi wa sallam mentahdzir (amaran) dari fitnah ".Kalimat fitnah dalam konteks ayat, datang dalam bentuk nakirah sehingga mempunyai makna yang umum berhubung segala sesuatu yang merupakan fitnah bagi manusia.Imam Al-Alusy ketika menafsirkan kalimat fitnah dalam ayat ini, beliau berkata: "Fitnah ditafsirkan (oleh para 'ulama salaf) dengan beberapa perkara, diantaranya Mudahanah dalam amar makruf dan nahi mungkar, dan diantaranya perselisihan dan perpecahan, dan diantaranya meninggalkan pengingkaran terhadap bid'ah-bid'ah yang muncul dan lain-lain ".

Kemudian beliau berkata: "Setiap makna tergantung dari konsekwensi keadaannya".Dan dikatakan di dalam ayat "takutlah kalian ..." ini menunjukkan bahawa fitnah itu buta dan tuli tidak pandang bulu dan boleh menimpa sesiapa sahaja. Berkata Imam Asy-Syaukany dalam tafsirnya: "Iaitu takutlah kamu kepada fitnah yang melampaui orang-orang yang zholim sehingga menimpa orang sholih dan orang tholih (tidak sholih) dan timpahan fitnah itu tidak khusus bagi orang yang langsung berbuat kezholiman tersebut di antara kamu".Defenisi FitnahFitnah dalam syari'at Islam mempunyai beberapa makna:

1. Bermakna syirik Seperti dalam firman Allah Ta'ala:"Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah dan sampai agama semuanya untuk Allah". (Surah Al-Baqarah: 93). Iaitu sehingga tidak ada lagi kesyirikan.Dan Allah berfirman: "Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh". (Surah Al-Baqarah: 217).

2. Bermakna seksaan dan azab:Seperti dalam firman Allah Ta'ala(Dikatakan kepada mereka): "Rasakanlah fitnahmu itu. Inilah fitnah yang dahulu kamu minta supaya disegerakan". (QS. Adz-Dzariyat: 14).Dan Allah Jalla Jalaluh berfirman:"Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan fitnah kepada orang-orang yang mu'min laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar". (Surah Al-Buruj: 10).Makna fitnah dalam dua ayat ini adalah seksaan dan azab.

3. Bermakna ujian dan cubaan.Seperti dalam firman Allah Ta'ala:"Dan kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah (yang sebenar-benarnya)". (Surah Al-Anbiya `: 35)Dan Allah Jalla Wa 'Ala menyatakan dalam firman-Nya:"Sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anak kamu itu hanyalah merupakan fitnah". (Surah Al-Anfal: 28).

4. Bermakna musibah dan balasan.Sebagaimana yang ditafsirkan para ulama dalam surah Al Anfal ayat 25 di atas:"Takutlah kamu kepada fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zholim diantara kamu secara khusus".Lihat: Mauqiful Mu'min Minal Fitan Karya Syeikh 'Abdul' Aziz bin Baz Demikianlah definisi fitnah, tetapi harus diketahui oleh setiap muslim bahawa fitnah yang ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala itu mempunyai hikmah di belakangnya. Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
"Alif, Laam, Miim. Apakah manusia itu mengira bahawa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:" Kami telah beriman ", sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta ". (QS. Al-Ankabut: 1-3).

Berikut ini kami akan menyebutkan beberapa kaedah-kaedah pokok yang harus dipegang oleh setiap muslim dalam menghadapi fitnah.

Kaedah Pertama: Pada setiap perselisihan merujuk pada Al-Quran dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para 'ulama salaf.Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:"Wahai orang-orang yang beriman, ta` atilah Allah dan ta `atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul ( sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kamu) dan lebih baik akibatnya ". (Surah An-Nisa `: 59).
Dan Allah  berfirman:"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)". (Surah Al-A'raf: 2).Dan di dalam hadits Abu Hurairah dari Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda:"Saya tinggalkan pada kalian dua perkara, kamu tidak akan sesat dibelakang keduanya (iaitu) kitab Allah dan Sunnahku". (HR. Malik dan Al-Hakim .Dan dalam surah An-Nisa `: 65, Allah Ta'ala menyatakan:"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya".Dan ingatlah bahawa menentang Allah dan Rasul-Nya adalah sebab kehinaan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:"Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina". (Surah Al-Mujadilah: 20).

Dan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam mengingatkan dalam hadis Ibnu' Umar:"Apabila kamu telah berjual beli dengan cara` inah (iaitu menjual barang dengan kredit kepada seseorang kemudian ia kembali membelinya dari orang itu dengan harga tunai lebih murah dari harga kredit tadi-pent (dan kamu telah redha dengan ladang-ladang dan kalian telah mengambil ekor-ekor lembu dan kamu meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kamu suatu kehinaan yang tidak akan diangkat sampai kamu kembali kepada agama kalian ". (HR. Abu Daud dan lain-lain ) Dan Abu Bakr Ash-Shiddiq - radhiyallahu 'anhu-berkata:"Tidaklah saya meninggalkan sesuatu apapun yang Rasulullah shollallahu 'alaihi wa' alihi wa sallam melakukannya kecuali saya lakukan kerana saya takut kalau saya meninggalkan sesuatu dari perintah beliau saya akan menyimpang". (HR. Bukhary-Muslim).

Dan memahami Al-Quran dan As-Sunnah harus dengan pemahaman para ulama Salafusoleh. Allah berfirman:"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dipilihnya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali ". (Surah An-Nisa `: 115).Dan dalam hadis yang mutawatir, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda:"Sebaik-baik manusia adalah zamanku, kemudian zaman selepasnya kemudian zaman selepasnya".Dan beliau menyatakan:"Telah berpecah orang-orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah berpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama'ah ". Hadis sahih

Betapa kuatnya asas seorang muslim apabila ia berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama salaf. Ini merupakan senjata yang paling ampuh dan perisai yang paling kuat dalam menghadapi dan menangkis setiap fitnah yang datang. Dan sejarah telah membuktikan bagaimana orang-orang yang berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah selamat dari fitnah dan mereka tetap kukuh di atas jalan yang lurus.Lihatlah kisah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu, ketika Rasulullah shollallahu' alaihi wa alihi wa sallam menghantar Usamah bin Zaid dengan memimpin 700 orang untuk menggempur kerajaan Rum. Maka ketika pasukan tersebut tiba di suatu tempat yang bernama Zu Khasyab, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam wafat, Maka mulailah orang-orang Arab di sekitar Madinah murtad dari agama sehingga para sahabat membimbangkan keadaan kota Madinah. Lalu para sahabat berkata kepada Abu Bakar: "Wahai Abu Bakar, kembalikan pasukan yang dihantar ke kerajaan Rum itu, apakah mereka diarahakan ke Rum sedang orang-orang Arab di sekitar Madinah telah murtad?". Maka Abu Bakar radhiallahu 'anhu berkata: "Demi yang tidak ada sesembahan yang berhak selainNya, andaikata anjing-anjing telah berlari di kaki-kaki para isteri Rasulullah shollallahu' alaihi wa alihi wa sallam, saya tidak akan menarik suatu pasukan tentera yang dihantar oleh Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam dan saya tidak akan melepaskan bendera yang diikat oleh Rasulullah ".

Lihat bagaimana gigihnya Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu berpegang dengan sunnah Rasulullah shollallahu' alaihi wa alihi wa sallam dalam keadaan yang sangat genting seperti ini dan betapa kuatnya keyakinan beliau akan kemenangan orang yang menjalankan perintah-Nya.Maka apa yang terjadi selepas itu, setiap kali pasukan Usamah bin Zaid melewati suatu suku yang murtad mereka berkata: "Andaikata mereka itu tidak mempunyai kekuatan, tentu tidak akan keluar pasukan sekuat ini dari mereka. Tapi kita tunggu sampai mereka bertempur dengan melawan kerajaan Rum" . Lalu bertempurlah pasukan Usamah bin Zaid menghadapi kerajaan Rum dan pasukan Usamah berjaya mengalahkan dan membunuh mereka. Kemudian kembalilah pasukan Usamah dengan selamat dan tetap orang-orang yang akan murtad itu tadi di atas Islam.Baca kisah ini dalam Madarik An-Nazhor hal. 51-52 (cet. Ke 2).Maka lihatlah ... wahai orang-orang yang menghendaki keselamatan, peganglah kaedah pertama ini dengan baik, nescaya engkau akan selamat dari fitnah di dunia dan di akhirat.

Kaedah Kedua: Merujuk kepada para ulama.Allah Al-Hakim Al-'Alim mengisahkan tentang Qorun dalam firman-Nya:"Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia:" Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Celakalah kamu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal soleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar. Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya) ". (Surah Al-Qoshosh: 79-81).Kerana itulah imam Hasan Al Bashri berkata: "Sesungguhnya apabila fitnah itu datang, diketahui oleh setiap 'alim (ulama), dan apabila telah terjadi (lewat), maka baru diketahui oleh orang-orang yang jahil".Dan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadis' Ubadah bin Shomit riwayat imam Ahmad dan lain-lain:"Bukan dari umatku sesiapa yang tidak menghormati orang yang besar dari kami dan tidak merahmati orang yang kecil dari kami dan tidak mengetahui hak orang yang alim dari kami". Dan juga Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadis Ibnu' Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim, Ibnu Hibban dan lain-lain:"Berkat itu bersama orang-orang besarnya kalian". 

Dan fitnah akan muncul apabila para ulama sudah tidak lagi dijadikan sebagai rujukan sebagaimana dalam hadis Abu Hurairah riwayat Ibnu Majah dan lain-lain, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda:"Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, akan dipercayai / dibenarkan padanya orang yang berdusta dan dianggap dusta orang yang jujur, orang yang khianat dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap khianat dan akan berbicara Ar-Ruwaibidhoh. Ditanya:" Siapakah Ar -Ruwaibidhoh itu? ". Beliau berkata:" Orang yang bodoh bercakap dalam perkara umum ". Dan juga Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadis' Abdullah bin 'Amr bin' Ash riwayat Bukhari-Muslim:"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari para hamba akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut (mewafatkan) para ulama sampai bila tidak tinggal lagi seorang alim maka manusia pun mengambil para pemimpin yang bodoh, maka mereka pun ditanya lalu mereka memberi fatwa tanpa ilmu, maka sesatlah mereka lagi menyesatkan ".
Dan berkata 'Abdullah bin Mas'ud radhiallahu' anhu:"Manusia masih akan senantiasa sebagai orang yang soleh lagi berpegang teguh sepanjang ilmu datang kepada mereka dari para sahabat Muhammad shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam dan orang-orang besar mereka. Maka apabila (ilmu) datang kepada mereka daripada orang-orang kecil, maka binasalah mereka ".

Kaedah Ketiga: Tidak boleh memberi komen dalam perkara-perkara Nawazil kecuali para ulama besar ahli ijtihad.Nawazil jamak dari Nazilah, maksudnya iaitu kejadian-kejadian atau masalah-masalah kontemporari yang terjadi pada kaum muslimin.Dan Nawazil ini dikenali juga dengan istilah hawadits.Ukuran Ulama Besar Ahli Ijtihad.Berkata Ibnul Qoyyim dalam I'lam Al-Muwaqqi'in: 4/212: "Orang yang alim terhadap Kitabullah dan Sunnah RasulNya dan perkataan para sahabat, maka dialah mujtahid (ahli ijtihad) pada perkara-perkara Nawazil".Berkata imam Asy-Syatiby dalam Al I'tishom: "Bahkan apabila dihadapkan kepadanya perkara-perkara Nawazil kemudian dia kembalikan kepada ushulnya maka ia mendapatkan (penyelesaiannya) didalamnya dan hal tersebut tidak diperolehi oleh orang yang bukan mujtahid. Tapi hanyalah diperolehi oleh para mujtahid yang disifatkan dalam ilmu usul fiqhi ".Dan Ibnu Rojab mencontohkannya seperti imam Ahmad dan kemudian beliau menjelaskan sisi kepantasan imam Ahmad untuk berfatwa dalam Nawazil. 

Di antara kriteria imam Ahmad yang beliau sebutkan iaitu beliau telah mencapai puncak pengetahuan tentang Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Atsar. Ilmu Al-Quran an seperti ilmu tentang An-Nasikh wal mansukh, Al-Mutaqaddim wal mutaakhkhir dan mengumpulkan tafsir para sahabat dan para tabi'in. Ilmu As-Sunnah seperti hafalan beliau terhadap hadis, mengetahui yang sahih dan dhoifnya, mengetahui rowi-rowi yang tsiqah dan yang majruh dan mengetahui jalan-jalan hadis dan kecacatan-kecacatan ... kemudian Ibnu Rojab berkata: "Telah dimaklumi siapa yang memahami semua ilmu ini dan sangat menguasainya, adalah suatu perkara yang sangat mudah baginya untuk mengetahui Hawadits dan memberikan jawapannya".Dalil kaedah ketiga ini adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam Surah An-Nisa ayat 83:"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah akan diketahui hal tersebut oleh orang-orang yang ber-istimbath diantara mereka (Rasul dan Ulil Amri) . Kalaulah bukan kerana kurnia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu) "
Berkata syeikh 'Abdurrahman bin Nashir As-Sa'dy menafsirkan ayat ini: "Ini adalah pelajaran adab dari Allah kepada para hamba-Nya tentang perbuatan mereka ini yang tidak layak. Dan yang sesuai bagi mereka apabila datang kepada mereka suatu perkara daripada perkara-perkara yang penting dan maslahat-maslahat umum yang berkaitan dengan keselamatan dan kebahagiaan kaum mukminin atau (berkaitan) dengan ketakutan yang di dalamnya terdapat musibah, maka wajib atas mereka untuk ber-Tatsabbut (mencari kejelasan) dan jangan tergesa-gesa menyebarkan berita tersebut bahkan hendaklah mereka mengembalikannya kepada Rasul dan kepada Ulil Amri di antara mereka, iaitu Ahli ro'yi wal ilmi wan nushhi wal aqli war razanah (para ahli dalam menilai / pertimbanga n, dalam ilmu, dalam menasihati, dalam berfikir dan mempunyai ketenangan) yang mengetahui perkara-perkara dan mengetahui apa-apa yang merupakan maslahat dan sebaliknya. Kalau mereka melihat penyebaran berita tersebut sebagai maslahat, menambah semangat kaum mu `minin, kegembiraan bagi mereka dan benteng dari musuh-musuh mereka, maka mereka melakukannya (menyebarkannya). Dan kalau mereka melihat tidak ada maslahat padanya atau ada maslahat tapi bahayanya melebihi maslahatnya maka tidaklah mereka sebarkan, kerana itulah (Allah Subhanahu Wa Ta'ala) berfirman: "Maka akan diketahui hal tersebut oleh orang-orang yang beristimbat dari mereka", iaitu mereka akan mengeluarkan hal tersebut dengan pemikiran mereka dan pendapat-pendapat mereka yang lurus dan ilmu mereka yang di atas penggunaan ".Allahu Akbar betapa sempurnanya tuntunan islam, andaikata kaum muslimin beramal dengan kaedah ini, nescaya mereka akan terjaga dari fitnah. Sungguh berbagai macam fitnah yang melanda kaum muslimin disebabkan kerana kekurangajaran sebahagian orang yang tidak tahu kadar dirinya dan merasa bangga dengan kemampuannya atau dengan title-title yang mereka sandang sehingga dengan sangat lancangnya berani mengulas dalam perkara-perkara Nawazil yang terjadi pada kaum muslimin. 

Maka wajarlah jika muncul pelbagai macam kerosakan dan fitnah yang lebih besar kerana ulah segelintir orang yang tidak tahu diri ini. Dan cukuplah hal tersebut sebagai dosa yang sangat besar bagi orang yang menyelisihi perintah dalam surah An-Nisa `di atas dan juga dia tergolong orang-orang yang tidak meletakkan amanah pada tempatnya, yang amanah itu seharusnya diserahkan kepada ahlinya iaitu para ulul amri; para ulama besar dan penguasa. Dan tidak meletakkan amanah pada tempatnya adalah pelanggaran terhadap perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan merupakan salah satu tanda hari kiamat.Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam surah An-Nisa `ayat 58:"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat".Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam ketika ditanya tentang bilakah hari kiamat?, Beliau bersabda:"Apabila amanah telah diabaikan maka tunggulah hari kiamat. Maka orang itu kembali bertanya:" Bila ditelantarkannya? ", Beliau menjawab:" Apabila perkara telah diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah hari kiamat ". (HR. Bukhary dari shahabat Abu Hurairah).Dan menyerahkan perkara Nawazil kepada ulil amri merupakan ushul (pokok) syari'at Islam yang dipegang oleh para imam Ahlus sunnah wal jama'ah dari zaman ke zaman.

Berkata Abu Hatim Ar-Rozy: "Madzhab dan pilihan kami adalah mengikuti Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa alihi wasallam dan para sahabat beliau, para tabi'in dan orang-orang setelah mereka (yang mengikuti mereka) dengan baik .... Dan komitmen terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan membela para Imam yang mengikuti jejak para ulama salaf. Dan pilihan kami apa yang dipilih oleh Ahlus Sunnah dari para Imam di berbagai negeri, seperti: Malik bin Anas di Madinah dan Al-Auza'iy di Syam dan al-Laits bin Sa'ad di Mesir dan Sufyan Ats-Tsaury serta Hammad bin Zaid di Iraq pada hawadits yang tidak diketemukan tentangnya riwayat dari Nabi Shollallahu 'alaihi wa alihi wasallam, para sahabat dan tabi'in. Dan meninggalkan pendapat-pendapat Al- Mulabbisin (orang-orang yang menyamar-nyamarkan perkara), Al-Mumawwihin (orang-orang yang mengaburkan perkara), Al-Muzakhrifin (orang-orang yang menghias-hiasi / memperindah perkara dari yang sebenarnya), Al-Mumakhriqin (para pembohong) lagi Al-Kadzdzabin (para pendusta). Lihat: Syarah Ushul I'tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama'ah karya Al-Lalaka `i jilid 1 hal.202.Dan berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhajus Sunnah jilid 4 hal. 404 di tengah perbualan beliau terhadap masalah jihad: "Secara global perbahasan tentang perkara-perkara detail ini merupakan pekerjaan orang khusus dari para ulama".

Kaedah Keempat: Dalam setiap sesuatu hendaklah bersikap lemah lembut, berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam membuat kesimpulan atau memberikan hukum.Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman pada Nabi-Nya:"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu". (Surah Al-Imran: 159).Dan dalam hadis 'Aisyah, Rasulullah shollallahu' alaihi wa alihi wa sallam bersabda:"Sesungguhnya tidaklah lemah lembut itu berada pada sesuatu apapun kecuali akan menghiasinya dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek". (HR. Muslim)Dan dalam hadis Jarir bin 'Abdillah, beliau juga menegaskan:"Siapa yang diharamkan dari sifat lemah lembut, maka diharamkan (untuknya) kebaikan". (HR. Muslim).

Kaedah Kelima: Bersikap adil dalam setiap sesuatu.Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran". (Surah An-Nahl: 90)Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan dalam firman-Nya:"Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (kamu)". (Surah Al-An'am: 152).Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menegaskan dalam firman-Nya di surah Al-Maidah ayat: 8:"Dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, kerana adil itu lebih dekat kepada takwa".

Ayat-ayat di atas sangat jelas sekali menunjukkan harusnya berlaku adil pada segala sesuatu dan tentunya hal tersebut lebih ditekankan pada keadaan fitnah maka hendaknya setiap orang berlaku adil dalam berucap, berbuat, bersikap dan memberikan hukum. Dan ukuran suatu keadilan tentunya ditimbang menurut tuntutan Al-Quran dan Sunnah.Kaedah Keenam: Tidak boleh menghukum suatu permasalahan kecuali setelah mengetahui gambaran yang jelas tentang permasalah tersebut.Kaedah ini lafaz arabnya berbunyi:"Undang-undang atas sesuatu cabang dari penggambarannya"Dan kaedah ini mempunyai asas yang sangat banyak dari Al Qur `an dan Sunnah.Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surah Al-Isra `ayat 36:"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya".Dan Allah Jalla wa 'Ala berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat 6:"Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu".Dan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda:"Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang ia tidak mencari kepastian apa yang ada di dalamnya, maka disebabkan hal itu ia dilemparkan ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat". (HR. Bukhary-Muslim dari Abu Hurairah)

Kaedah ini adalah kaedah yang sangat berguna dan membantu dalam segala bentuk fitnah yang berlaku. Ingatlah baik-baik kaedah ini dan warnailah gerak-gerikmu dengannya nescaya engkau akan selamat. Wallahul Muwaffiq.

Kaedah Ketujuh: Pada keadaan fitnah tidak segala sesuatu yang diketahui harus diucapkan.Perkataan dan perbuatan dalam keadaan fitnah hendaklah mempunyai syarat-syarat dan peraturan. Tidak semua perkara yang dipandang baik harus dinampakkan dan dikerjakan. Kerana perkataan dan perbuatan dalam keadaan fitnah akan melahirkan suatu akibat dibelakangnya.Dalam hadis 'Aisyah radhiyallahu' anha Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda:"Wahai 'Aisyah andaikata kaummu (penduduk Makkah) bukan orang yang baru (meninggalkan) kekufuran, nescaya saya merobohkan Kaabah kemudian saya akan menjadikannya dua pintu; pintu tempat manusia masuk dan pintu mereka keluar". (HR. Bukhary-Muslim)

Lihatlah wahai orang-orang yang berfikir kenapa Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan apa yang beliau kehendaki, bukankah itu sunnahnya dan syari'at yang beliau bawa? jawapannya jelas kerana orang-orang Mekah baru masuk islam dan mereka sangat menghormati Kaabah maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam takut kalau beliau merubah bangunan ka'bah beliau dianggap orang sombong terhadap mereka sehingga hal tersebut boleh menyebabkan mereka lari dari Islam dan kembali kepada kekufuran. Kerana itulah Imam Bukhary ketika menyebutkan hadis ini, beliau sebutkan dengan judul: "Bab orang meninggalkan sebahagian pilihan kerana takut sebahagian orang kurang memahaminya lalu terjatuhlah mereka ke dalam perkara yang lebih besar".Dan 'Ali bin Abi Talib radhiyallahu' anhu berkata:"Berceritalah kepada manusia dengan apa yang mereka ketahui, apakah kalian mahu Allah dan Rasul-Nya didustakan?". (Riwayat Bukhari).Dan 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu' anhu berkata:"Tidaklah engkau berbicara kepada suatu kaum dengan suatu pembicaraan yang tidak boleh dicerna oleh akal mereka kecuali akan menjadikan fitnah pada sebahagian dari mereka". (Diriwayatk an oleh Muslim dalam Muqaddimah Shohihnya dengan sanad yang terputus).Dan dalam hadis riwayat Bukhari, Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata:"Saya menghafal dari Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam dua beg. Adapun salah satunya saya telah sebarkan dan adapun yang lain kalau saya sebarkan maka akan diputus leher ini".

Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam Siyar A'lam An-Nubala `jilid 2 hal. 597-598: "Ini menunjukkan bolehnya menyembunyikan sebahagian hadis-hadis yang boleh menggerakkan fitnah (hadis-hadis) dalam Al-Ushul (masalah-masalah pokok) mahupun Al-Furu '(maslah-masalah cabang) atau dalam (hadis-hadis tentang ) pujian dan celaan. Adapun hadis yang berkaitan dengan halal dan haram maka tidak halal untuk disembunyikan dalam bentuk bagaimanapun kerana itu dari kejelasan dan petunjuk ". Kemudian beliau sebutkan perkataan 'Ali bin Abi Tholib di atas lalu beliau berkata: "Dan demikian pula Abu Hurairah andaikata beliau menyebarkan beg itu nescaya dia akan disakiti bahkan akan dibunuh. Akan tetapi seorang alim kadang-kadang ijtihadnya mendorongnya untuk menyebarkan suatu hadis untuk menghidupkan sunnah maka baginya apa yang ia niatkan dan ia mendapatkan pahala walaupun ia salah dalam ijtihadnya ".Dan Al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Fathul Bary jilid 1 hal. 225 ketika menjelaskan perkataan 'Ali bin Abi Talib, beliau berkata: "Di dalamnya ada dalil bahawa perkara yang mutasyabih (yang mengandungi beberapa pengertian) tidak layak disebutkan pada khalayak umum". Kemudian beliau menyebutkan perkataan Ibnu Mas'ud lalu beliua berkata: "Di antara orang-orang yang tidak senang memberikan hadis pada sebagian orang adalah imam Ahmad dalam hadis-hadis yang zhohirnya membolehkan khuruj (rampasan kuasa) terhadap pemerintah, dan imam Malik dalam hadis-hadis tentang sifat-sifat (Allah), dan Abu Yusuf tentang hadis-hadis yang ghorib (aneh dari sisi makna maupun lafazh-pen.) .... Dan Dari Al-Hasan (Al-Bashry-pen.) ia mengingkari Anas (radhiyallahu 'anhu) menceritakan kepada Hajjaj tentang kisah Al-Uraniyyin kerana ia akan menjadikannya sebagai wasilah yang selama ini ia pegang dalam berlebihan menumpahkan darah denga ta `wil yang lemah.Dan saiz hal tersebut (boleh menyembunyikan sebahagian hadis) iaitu hendaknya zhohir suatu hadis menguatkan suatu bid'ah dan yang zhohir tersebut pada asalnya bukan yang diinginkan.

Wallahu'alam
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...